Rangkuman Sejarah Hukum Adat Pada Zaman Penjajahan
Pada zaman V.O.C. orang-orang Belanda tidak menemukan Hukum Adat dalam arti yang telah diuraikan di atas, namun V.O.C. mempunyai alasan untuk mencampuri Hukum Adat. Berdasarkan pertimbangan praktis, di beberapa tempat tertentu sebagai usaha penertiban dan pemeliharaan bagi dirinya, V.O.C. terpaksa turut campur dalam mengatur Hukum bagi orang Indonesia asli, yang oleh V.O.C. masih dianggap bagian terbesarnya terdiri atas peraturan Agama Islam.
Pada tahun 1750, 1759, 1760, dan 1768 turut campurnya V.O.C. dalam usaha penertiban hukum orang Indonesia asli itu menghasilkan 4 kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang Indonesia asli yang berikut:
1. Untuk keperluan Landraad di Semarang pada tahun 1750 dibuat suatu Compendium (Pegangan, ikhtisar) dari Undang-undang orang Jawa yang terpenting, yang terkenal dengan nama “Kitab Hukum Mogharrar”. Kitab hukum itu bermaksud memuat hukum pidana Jawa, tetapi ternyata yang dibuat ialah Hukum Pidana Islam. Kodifikasi hukum ini kemudian dipublikasikan dalam majalah : “Regt in Nederlandsch Indie” dan oleh sebab itu pada tahun 1854 menjadi salah satu pokok pembicaraan di dalam pembentukan R.R. 1854.
2. Pada tahun 1759 oleh pimpinan V.O.C. disahkan suatu Compendium van Clootwijck tentang undang-undang Bumi Putera di lingkungan Kraton Bone dan Goa, berlaku sejak dahulu sampai sekarang. Pencacatan hukum adat itu dibuat oleh van Clootwijck yang menjadi GUbernur Pantai Sulawesi dari tahun 1752 sampai tahun 1755. Meskipun Compendium itu sudah agak usang, namun masih dipakai oleh peradilan Bumi Putera pada permulaan abad ini.
3. Pada tahun 1760 oleh Pimpinan V.O.C. dikeluarkan suatu Himpunan Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan. Himpunan itu terkenal dengan nama “Compendium Freijer”, karena disusun Freijer, yang menjabat “Kuasa Pemerintah di bidang urusan-urusan orang Bumi Putera”. Pencacatan Hukum Islam ini bertahan lama. Beberapa bagian dari Compendium tersebut dicabut dengan berangsur-angsur pada abad ke 19, sedangkan bagian terakhir (mengenai warisan) pada tahun 1913.
4. Oleh Cornelis Hasselaer yang menjadi Residen di Cirebon (1757-1765) direncanakan pembutan suatu Kitab Hukum Adat yang menjadi “Suatu Pemimpin Hukum Adat Bagi Hakim-hakim di Cirebon”. Kitab hukum adat yang merupakan karya bikinan, hanya berdasarkan bahan tertulis dan tidak berdasarkan penyelidikan di tempat itu terkenal dengan nama “Pepakem Cirebon”. Karya itu masih mengandung banyak kekurangan, tetapi membuktikan bahwa orang yang sudah mulai menyadari akan adanya Hukum Adat (van Vollenhoven).
Dipusat pemerintahan dinyatakan berlakusatu stelsel hukum untuk semua orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum Belanda, baik hukum tatanegara, hukum privat maupun hukum pidana. Diluar wilayah itu adat pribumi tidak diindahkan sama sekali.
Sesudah V.O.C. dibubarkan, maka pengurusan atas ”harta kekayaan Bataafsche Republik (Republik Belanda) di Asia” diteruskan oleh “Dewan Asia”. Tugas dewan tersebut diliputi oleh semangat baru, yaitu harapan bahwa:
1. Politik pemerintahan akan dilakukan terlepas dari perhitungan komersial;
2. Akan diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki nasib tanah jajahan beserta penduduknya.
Dasar peradilan bagi orang Indonesia ditentukan dalam pasal 86 dari Charter (peraturan pemerintah) untuk harta kekayaan di Asia yang disahkan oleh Pemerintah Republik (Belanda) pada tanggal 27 September 1804. Meskipun Deandels menganggap bahwa hukum adat dilekati beberapa kelemahan (terutama mengenai hukum pidana), namun ia merasa segan mengganti hukum adat itu sekaligus dengan hukum Eropa. Oleh karena itu ia menempuh jalan tengah : pada pokoknya hukum adat akan diberlakukan untuk bangsa Indonesia. Namun hukum adat itu tidak boleh diterapkan, “jika bertentangan dengan perintah kemudian dan perintah umum dari pengusaha atau dengan asas-asas keadilan serta kepatutan, ataupun bila karenanya dalam perkara-perkara pidana kepentingan dari keamanan umum, tidak terpelihara”.
Seperti halnya dengan pimpinan V.O.C., Deandels pun mengindentikan hukum adat dengan hukum islam dan memandang rendah hukum adat itu, sehingga tidak pantas diberlakukan terhadap orang Eropa.
Raffles termasuk salah seorang perintis penemuan hukum adat, bersama-sama dengan Marsden dan Crawfurd. Sejak menjadi petugas “Kompeni Hindia-Timur” Inggris di pulau Pinang, raffles tertarik oleh keindahan dan kekayaan nusantara beserta penduduknya, dengan hukum adatnya serta lembaga-lembaga social lainnya. Pengetahuan yang diperolehnya berdasarkan penyelidikan-penyelidikan setempat itu menyebabkan raffles diangkat menjadi “agen politik” dalam rangka rencana Inggris untuk merebut pulau Jawa dari tangan pemerintah Belanda.
Raffles mengadakan banyak perubahan dalam susunan badan-badan pengadilan; tetapi hukum materiilnya hamper-hampir tidak diubahnya. Dalam perkara antar-orang Indonesia pada umumnya diberlakukan hukum adat, dengan syarat : tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan kodrat yang universal dan diakui atau dengan prinsip-prinsip keadilan hakiki yang diakui.
Tentang penilaiannya terhadap hukum adat harus dibedakan antara dua bidang:
1. Hukum pidana
2. Hukum perdata
Dibidang hukum pidana, raffles mencela sanksi pidana yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman (misalnya pidana “bakar hidup”, pidana “tikam dengan keris”). Dilapangan hukum perdata, raffles menetapkan : jika salah seorang dari pihak yang bersengketa – baik penggugat ataupun tergugat adalah orang Eropa, maka perkaranya harus diadili oleh Court of Justice, yang menerapkan hukum Eropa.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa hukum adat dipandang lebih rendah derajatnya daripada hukum barat. Hukum adat hanya dipandang baik untuk golongan rakyat Indonesia, tetapi tidak patut diberlakukan atas orang Eropa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar