BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara mengakui dan menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban (UUD’1945, Ps. 28 I ayat 3. Selanjutnya Negara dalam hal ini Pemerintah dan segenap komponen bangsa diamanahkan oleh UUD’1945 untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya (UUD’1945, Ps.32 ayat 1).
Dalam rangka memenuhi amanah Undang-Undang Dasar ini beberapa hal yang berkaitan dengan penerapan dan penegakan hukum adat diatur pula dalam undang-undang organik, misalnya dalam Undang Undang no.32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab XI yang mengatur tentang desa dan pemerintahan desa, pada Ps. 203 (3) menegaskan bahwa “pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Menurut pendapat penulis, yang perlu mendapat pemahaman lebih mendalam adalah hal apa yang harus menjadi tolok ukur untuk dapat menyatakan apakah Hukum Adat, masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya diakui masih hidup atau tidak. Untuk menjawab persoalan ini , Moh. Koesnoe (Catetan-Catetan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini,1979) dengan mensitir pendapat Djojodiguno mengatakan bahwa untuk dinyatakannya hukum adat sebagai hukum yang berlaku (hukum positif) tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi ,akan tetapi hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-pernyataan (menurut penulis termasuk ‘ungkapan –ungkapan simbolik bermakna’) yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran.
Jadi hal ini memang berbeda dengan pendapat para ahli hukum adat yang lain (Vollenhoven, Ter Haar, Kusumadi Pujosewojo) yang menunjuk kepada sanksi yang harus dijatuhkan/diputus oleh Hakim atau penguasa adat sebagai ciri untuk menyatakan adat sebagai hukum (hukum adat). Lebih tegas lagi Koesnoe mengatakan bahwa pilihan untuk menetapkan hukum dengan penggunaan sanksi sebagai ciri pokoknya akan membawa kekecewaan didalam menentukan apa yang hukum didalam adat (Koesnoe,1979 :5 – 6).
Sejalan dengan pendapat Koesnoe, Haryono mengatakan bahwa dikenal beberapa ciri dari Hukum Adat dan salah satu ciri penting adalah asas-asas hukum adat dirumuskan dalam bentuk seloka, pribahasa (perumpamaan) ataupun cerita (Haryono, 1994 :48). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum adat dalam arti berlakunya dalam kehidupan masyarakat aturan-aturan yang bersifat ‘non-statutair’(Wignjodipoero,1992 : 16), adalah apabila dalam kehidupan sehari-hari benar-benar dirasakan sebagai norma-norma kehidupan (uger-ugeran) yang menjiwai dalam hubungan antar sesama sebagai pernyataan rasa keadilan terutama dalam hubungan pamrih, keberadaan sanksi lebih terkait dengan penegakannya. Sanksi dalam hal ini tidak seharusnya dalam bentuk konkrit (tegas) tetapi bisa juga dalam bentuk sanksi moral.
Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikultural, multi etnik, agama, ras, dan multi golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan negara kesatuan republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke, di satu sisi Indonesia memiliki sumber daya alam (natural resources) yang kaya dan melimpah bak untaian zamrud mutu manikam di bentang garis katulistiwa, dan di sisi lain juga berwujud sebagai sumber daya budaya (cultural resources) yang beragam coraknya (Koentjaraningrat, 1988; Hardjono, 1991).
Dari satu sisi, secara teoritis keragaman budaya (multikultural) merupakan konfigurasi budaya (cultural configuration) yang mencerminkan jatidiri bangsa, dan secara empirik menjadi unsur pembentuk negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Selain itu, kemajemukan budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara (Dhari dan Suparman, 1999).
Namun demikian, dari sisi yang lain kemajemukan budaya juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam integrasi bangsa, karena konflik antar budaya dalam wujud pertikaian antar etnik, antar penganut agama, ras maupun antar golongan bersifat sangat sensitif dan rentan terhadap suatu kondisi yang menjurus ke disintegrasi bangsa. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila konflik tersebut tidak dikelola, dimaknai, dan diselesaikan secara santun, damai, dan bijaksana oleh pemerintah bersama seluruh komponen anak bangsa.
Secara antropologis, konflik merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan (inherent) dari kehidupan manusia, apalagi dalam masyarakat bercorak multikultural. Ia tidak mungkin dihindari atau diabaikan dalam kehidupan bersama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana konflik itu dikelola, dikendalikan, diakomodasi, dan diselesaikan secara damai dan bijaksana agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial dalam kehidupan masyarakat (Bohanan, 1967; Spradley & McCurdy, 1987).
Dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini, kasus-kasus konflik yang bersumber dari potensi kemajemukan budaya cenderung semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Konflik-konflik dalam kehidupan masyarakat di Aceh, Abepura dan Timika (Papua), Ambon (Maluku), Ternate (Maluku Utara), Sampit-Sambas (Kalimantan Tengah), Pasuruan-Situbondo (Jawa Timur), DKI Jakarta, Mataram (NTB), Lampung, Poso (Sulawesi Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), dan lain-lain merupakan cerminan dari sensitifitas dari potensi keragaman budaya menimbulkan konflik dan pertikaian antar etnik, antar komunitas agama, dan/atau antar golongan yang terjadi di berbagai kawasan Indonesia.
Dari perspektif antropologi hukum, fenomena konflik muncul karena adanya konflik nilai (conflict of value), konflik norma (conflict of norm), dan/atau konflik kepentingan (conflict of interest) dari komunitas-komunitas etnik, agama, maupun golongan termasuk juga komunitas politik dalam masyarakat. Selain itu, dapat dicermati bahwa konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat juga bersumber dari persoalan diskriminasi pengaturan dan perlakuan pemerintah pusat terhadap komunitas-komunitas masyarakat di daerah, dengan menggunakan apa yang disebut Bodley (1982) sebagai the political of ignorance dalam bentuk perlakuan yang bersifat mengabaikan, menggusur, dan bahkan mematisurikan nilai-nilai, norma-norma hukum rakyat (folk law), termasuk religi dan dan tradisi-tradisi masyarakat di daerah melalui dominasi dan penegakan hukum negara (state law) dalam corak sentralisme hukum (legal centralism).
Secara konvensional cita hukum (idea of law/rechtsidee) sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch adalah untuk menciptakan keadilan (gerechtmatigheid/justice), kemanfaatan (doelmatigheid/utilitity), dan kepastian hukum (rechtmatigheid/legal certainty). Sedangkan tujuan dari hukum adalah untuk menjaga keteraturan (social order) dan ketertiban sosial (legal order) dalam masyarakat, sehingga fungsi hukum lebih ditekankan sebagai instrumen pengawasan sosial (social control). Dalam masyarakat yang lebih kompleks, cita hukum dikembangkan sebagai alat untuk merekayasa kehidupan sosial (social engineering).
Oleh karena itu penulisan makalah ini dilakukan oleh penulis untuk mengkaji secara yuridis yang menyangkut judul tentang “ Potensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional “.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka kami mencobamemformulasikan beberapa rumusan masalah agar pembahasan menjadi terarah dan tidak meluas, yaitu:
1. Apakah cita hukum dapat ditingkatkan agar memainkan peran sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkokoh integrasi bangsa dalam masyarakat yang bercorak multikultural ?
2. Bagaimana potensi dan kedudukan hukum adat dalam politik pembangunan hukum di negeri ini ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis sesuai dengan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui cita hukum dapat ditingkatkan agar memainkan peran sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkokoh integrasi bangsa dalam masyarakat yang bercorak multikultural.
b. Untuk mengetahui potensi dan kedudukan hukum adat dalam politik pembangunan hukum di negeri ini.
2. Manfaat Penulisan
Sehubungan dengan tujuan di atas, maka diharapkan penulis makalah ini dapat bermanfaat antara lain:
a. Sebagai pengembangan pengetahuan dan wawasan pemikiran dalam mempelajari masyarakat multikultural.
b. Agar menjadi sebyah sumbangan pemikiran terhadap pemerintah untuk dapat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat adat demi pembangunan hukum di Indonesia.
c. Agar dapat digunakan oleh pihak-pihak lainnya sebagai referensi dari penulisan yang akan dilakukan selanjutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar