hari-hari aku lewati tanpa sekalipun aku menolak datangnya cinta. ketika cinta itu datang menyapa maka kusambut dengan hangat akan tetapi takdir berkata berbeda, hidupku selalu berganti cinta karena aku tak bisa mencinta dengan menerima apa adanya. aku mencari cinta tapi aku takut terlalu cinta. aku takut apabila aku salah memberi cinta maka aku kan tersesat didalam pusaran penyesalan slamanya. aku takut tak bisa pergi dari cinta yang telah mengikatku karena nafsu. aku takut pabila aku tak bisa kembali dari perangkap cinta yang telah menjebakku karena syetan menawarkan nafsu cinta kepadaku.
aku hanya ingin cinta yang tak mengharapkan balasan ketika cinta itu datang dan rela pergi ketika takdir tak dapat menyatukan cinta itu dan berjuang apabila belum ada kepastian dari cinta itu.
aku takut menghianati kepercayaan orang tuaku. aku takut tak bisa menjaga apa yang telah dianugrahkan kepadaku. aku takut apa yang dilakukan orang-orang sekitarku terjadi padaku juga.
aku seperti masuk dalam labirin kehidupan yang sulit untuk aku lewati. aku takut dengan takdir yang masih menjadi misteri dalam hidupku. aku takut...
terdapat beberapa makalah selama kuliah di fakultas hukum universitas mulawarman dan beberapa catatan kecil kehidupanku serta beberapa lirik lagu dan puisi...
Minggu, 18 April 2010
Senin, 12 April 2010
sumber-sumber hukum
SUMBER-SUMBER HUKUM
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum itu dapat ditinjau dari segi material dan segi formal:
1. Sumber Hukum Material adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum atau hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Sumber-sumber hukum material dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan sebagainya.
2. Sumber Hukum Formal adalah sumber hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara kemuka pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberi putusan. Sumber-sumber hukum formal antara lain ialah:
a. Undang-undang (statute)
Undang-undang ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara. Menurut BUYS, undang-undang itu mempunyai dua arti, yakni:
1. Undang-undang dalam arti formal ialah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya.
2. Undang-undang dalam arti material ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat isinya mengikat langsung setiap penduduk.
b. Kebiasaan (Costum)
Ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
c. Keputusan-keputusan Hakim (Jurisprudentie)
Jurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. Ada dua macam jurisprudensi yaitu:
1. Jurisprudensi tetap ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard-arresten) untuk mengambil keputusan.
2. Jurisprudensi tidak tetap.
Seorang hakim mengikuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pla hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa.
d. Traktat (Treaty)
Hal ini disebut Pacta Sunt Servanda yang berarti, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati. Perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih disebut perjanjian antar Negara atau perjanjian internasional ataupun traktat. Traktat juga mengikat warganegara-warganegara dari Negara-negara yang bersangkutan. Jika traktat diadakan hanya oleh dua Negara, maka traktat itu adalah traktat bilateral. Sedangkan jika dilakukan oleh lebih dari dua Negara disebut traktat multilateral.
e. Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Pendapat para sarjana hukum ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statute of the Internasional Court of Justice) pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam menimbang dan memtuskan suatu perselisihan dapat mempergunakan beberapa pedoman yang antara lain ialah:
a) Perjanjian-perjanjian Internasional (International conventions)
b) Kebiasaan-kebiasaan Internasional (International customs)
c) Asas-asas hukum yang diakui bangsa-bangsa yang beradab (The general principles of law recognized by civilized nations)
d) Keputusan hakim (Judical decisions) dan pendapat-pendapat sarjana hukum.
Sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum itu dapat ditinjau dari segi material dan segi formal:
1. Sumber Hukum Material adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum atau hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah-perintah dan larangan-larangan. Sumber-sumber hukum material dapat ditinjau lagi dari berbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat, dan sebagainya.
2. Sumber Hukum Formal adalah sumber hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum material atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara kemuka pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberi putusan. Sumber-sumber hukum formal antara lain ialah:
a. Undang-undang (statute)
Undang-undang ialah suatu peraturan Negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakan dan dipelihara oleh penguasa Negara. Menurut BUYS, undang-undang itu mempunyai dua arti, yakni:
1. Undang-undang dalam arti formal ialah setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang karena cara pembuatannya.
2. Undang-undang dalam arti material ialah setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat isinya mengikat langsung setiap penduduk.
b. Kebiasaan (Costum)
Ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
c. Keputusan-keputusan Hakim (Jurisprudentie)
Jurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama. Ada dua macam jurisprudensi yaitu:
1. Jurisprudensi tetap ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (standard-arresten) untuk mengambil keputusan.
2. Jurisprudensi tidak tetap.
Seorang hakim mengikuti keputusan hakim yang terdahulu itu karena ia sependat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pla hanya dipakai sebagai pedoman dalam mengambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa.
d. Traktat (Treaty)
Hal ini disebut Pacta Sunt Servanda yang berarti, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati. Perjanjian yang diadakan oleh dua Negara atau lebih disebut perjanjian antar Negara atau perjanjian internasional ataupun traktat. Traktat juga mengikat warganegara-warganegara dari Negara-negara yang bersangkutan. Jika traktat diadakan hanya oleh dua Negara, maka traktat itu adalah traktat bilateral. Sedangkan jika dilakukan oleh lebih dari dua Negara disebut traktat multilateral.
e. Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin)
Pendapat para sarjana hukum ternama juga mempunyai kekuasaan dan berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Mahkamah Internasional dalam Piagam Mahkamah Internasional (Statute of the Internasional Court of Justice) pasal 38 ayat 1 mengakui, bahwa dalam menimbang dan memtuskan suatu perselisihan dapat mempergunakan beberapa pedoman yang antara lain ialah:
a) Perjanjian-perjanjian Internasional (International conventions)
b) Kebiasaan-kebiasaan Internasional (International customs)
c) Asas-asas hukum yang diakui bangsa-bangsa yang beradab (The general principles of law recognized by civilized nations)
d) Keputusan hakim (Judical decisions) dan pendapat-pendapat sarjana hukum.
makalah tentang nikah siri
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa (akil baligh), siap secara lahir dan batin, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar menginjakkan kakinya ke jenjang pernikahan. Jenjang inilah yang menandai sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang. Dibandingkan dengan hidup sendirian (membujang atau melajang), kehidupan berkeluarga memiliki banyak tantangan dan sekaligus mengandung sejumlah harapan positif. Tidak dimungkiri dalam pernikahan terdapat banyak manfaatnya jika kita dapat mengelolanya dengan baik.
Kata “nikah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti sebagai berikut:
a. Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-istri (dengan resmi atau sah).
b. Perkawinan.
c. Hubungan seksual.
Didalam Alquran kata “nikah” digunakan sebanyak 23 kali yang mempunya arti “berhimpun”. Alquran juga menggunakan kata zawwaja atau zauwj yang memiliki makna sepadan dengan kata nikah sebanyak 80 kali. Pernikahan adalah amalan yang disyariatkan dalam Islam. Dalam rujukan pernikahan, baik dalam Alquran maupun hadis, arti pernikahan adalah suatu ibadah. Kata pernikahan itu sendiri merupakan kata yang berbentuk perintah (‘amr). Perintah nikah itu sendiri disyariatkan dalam firman Allah: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (An-Nur: 32).
Tujuan utama pernikahan yang diajarkan dalam Islam adalah membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, yaitu keluarga yang dihiasi dengan penuh ketentraman, kecintaan, dan penuh rasa kasih sayang. Tuntunan ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah menjadikan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri (manusia) supaya kamu cenderung dan merasa tenteram terhadapnya dan dijalinnya rasa kasih dan sayang (antara kamu sepasang). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Al-Ahzab: 21). Dengan medasari tuntunan ayat tersebut, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3 juga menegaskan hal yang sama bahwa “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan wa rahmah”. Jadi, sebuah keluarga baru bisa dianggap sukses apabila telah mecapai dan memenuhi tujuan yang dimaksud.
Sebuah pernikahan tidak hanya mencakup syarat adanya calon mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Prinsipnya, pernikahan itu telah dianggap sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Mengabaikan salah satu syarat umum yang menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan adalah sebagai berikut:
a. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh mempelai laki-laki yang akan menjadi suaminya.
b. Dihadiri dua orang saksi laki-laki.
c. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad pernikahan.
Syarat sahnya pernikahan tersebut harus diperhatikan oleh masing-masing pihak yang berhubungan dengan suatu (akad) pernikahan, baik calon mempelai perempuan, maupun wali dan saksi-saksinya, agar tidak timbul masalah dikemudian hari. Sebab, melaksanakan akad nikah yang tidak sah, yaitu akad yang tidak memenuhi syarat dan rukunny, maka menurut hukum Islam dipandang sebagai perbuatan yang sia-sia, tidak ada artinya, bahkan dipandang sebagai perbuatan melanggar hukum. Perbuatan ini termasuk kategori perbuatan yang berdosa dan mengandung maksiat.
Saat ini nikah siri menjadi sebuah fenomena dimana-mana. Nikah siri kian marak terjadi dan tidak hanya dilakukan oleh artis, pejabat, atau birokrat pemerintahan, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan taraf ekonomi yang relative pas-pasan. Istilah “nikah siri” berasal dari bahasa Arab yang biasanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lebih kurang menjadi “nikah di bawah tangan”. Nikah siri menjadi perdebatan hangat karena sangat berbeda dengan nikah resmi pada umumnya. Apabila ditinjau dari sudut hukum Islam dan hukum positif nasional, pernikahan model ini menjadi perdebatan yang kompleks, dilematis, dan juga bersifat problematic. Menjabarkan dua pendekatan hukum itu sangat penting untuk menelisik problem nikah siri.
Fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik, antara lain sebagai berikut:
1. Nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga dipraktekkan oleh figure masyarakat yang selama ini sering disebut dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam).
2. Nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.
Oleh karena itu penulisan makalah ini dilakukan oleh Penulis untuk mengkaji secara yuridis yang mengangkat judul tentang Nikah Siri Dipandang dari Perspektif Hukum, Baik Hukum Islam maupun Hukum Positif yang Berlaku Di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis mencoba memformulasikan beberapa rumusan masalah agar pembahasan menjadi terarah dan tidak meluas, yaitu:
1. Bagaimana nikah siri dipandang dari Perspektif Hukum baik Hukum Islam maupun Hukum Positif Nasional ?
2. Bagaimana pengaruh dan akibat dari pernikahan yang tidak dicatatkan menurut Hukum Positif yang berlaku di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis sesuai dengan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan mengenai nikah siri dilihat dari Perspektif Hukum baik Hukum Islam maupun Hukum Positif Nasional.
2. Untuk mengetahui pengaruh dan akibat dari pernikahan yang tidak dicatatkan menurut Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.
2. Manfaat Penulisan
Sehubungan dengan tujuan tersebut di atas, maka diharapkan Penulis makalah ini dapat bermanfaat:
1. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya pada hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia.
2. Agar menjadi sebuah sumbangan pemikiran terhadap pemerintah untuk dapat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat umum dalam melakukan pernikahan agar tidak bertentangan dengan hukum nasional.
3. Agar dapat digunakan oleh pihak-pihak lainnya sebagai referensi dari penulisan yang akan dilakukan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan antara lain sebagai berikut:
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
3. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
b. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni:
(1) hukum pernikahannya.
(2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya;
2. Mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya;
3. Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut:
(1) wali
(2) dua orang saksi
(3) ijab qabul
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
2. Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
3. Dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan, penulis menyimpulkan:
1. Hukum nikah siri bersifat prolematis. Mentor hukum Islam, nikah siri mungkin bisa dianggap sah asalkan sesuai dengan syarat dan rukun pernikahan, sebagaimana dipahami oleh sebagian kalangan ulama dan masyarakat muslim. Namun, dalam prespektif hukum Islam dalam nikah siri tidak hanya didasarkan pada syarat dan rukunnya, tetapi juga perlu melihat persoalan mengumumkan dan mencatatkan pernikahan secar resmi melalui pejabat yangberwenang. Berdasarkan hukum positif nasional, sudah sangat jelas bahwa nikah siri dinyatakan sebagai pernikahan tidak sah, bahkan dianggap illegal. Yang paling terpenting dari pernikahan itu adalah sah secar syariat agama dan hukum Negara, sehingga membawa kelaslahatan bagi semua pihak yang berhubungan dengan ikatan pernikahan itu.
2. Nikah siri tidak mulus diterapkan begitu saja. Terdapat sejumlah pengaruh yang mungkin saja di timbulkannya. Nikah siri juga menambah daftar praktik diskriminasi yang dilakukan laki-laki (suami) terhadap hak-hak perempuan. Pihak perempuan sering mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat pernikahan secara siri ini. Tidak hanya itu, anak-anak juga menjadi korban pernikahan siri yang tidak bertanggung jawab.
B. Saran
Dari ulasan-ulasan yang telah dikemukakan di muka, maka penulis memberikan saran:
1. Diperlukan regulasi dan sangsi yang tegas agar masyarakat tidak melakukan perbuatan nikah siri.
2. Perlu adanya kepastian hukum dari pemerintah tentang nikah siri agar mayarakat mengetahui pengaruh dari nikah siri.
DAFTAR PUSTAKA
A. Litelatur Buku
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Hamid, Zahri, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Binacipta, 1978.
Malik bin Anas, Imam, Al-Mutwaththa’ Imam Malik, terj. Nur Alim, Asep Saefullah, dan Rachmat Hidyatullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996.
Susanto, Happy, Nikah Siri Apa Untungnya, Jakarta: Visimedia, 2007.
B. Litelatur Internet
www.google.com/HTI.hukumislamtentangnikahsiri.blog
C. Lilelatur Kitab & Lainnya
1. Alquran;
2. Hadis;
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama; dan
6. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menikah merupakan salah satu fase kehidupan yang lazim dilakukan oleh setiap manusia dewasa (akil baligh), siap secara lahir dan batin, serta memiliki rasa tanggung jawab dalam membangun rumah tangga. Setiap orang yang telah memenuhi persyaratan tersebut dianjurkan agar menginjakkan kakinya ke jenjang pernikahan. Jenjang inilah yang menandai sebuah fase kehidupan yang sangat penting bagi kelangsungan hidup seseorang pada masa mendatang. Dibandingkan dengan hidup sendirian (membujang atau melajang), kehidupan berkeluarga memiliki banyak tantangan dan sekaligus mengandung sejumlah harapan positif. Tidak dimungkiri dalam pernikahan terdapat banyak manfaatnya jika kita dapat mengelolanya dengan baik.
Kata “nikah” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai beberapa arti sebagai berikut:
a. Perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami-istri (dengan resmi atau sah).
b. Perkawinan.
c. Hubungan seksual.
Didalam Alquran kata “nikah” digunakan sebanyak 23 kali yang mempunya arti “berhimpun”. Alquran juga menggunakan kata zawwaja atau zauwj yang memiliki makna sepadan dengan kata nikah sebanyak 80 kali. Pernikahan adalah amalan yang disyariatkan dalam Islam. Dalam rujukan pernikahan, baik dalam Alquran maupun hadis, arti pernikahan adalah suatu ibadah. Kata pernikahan itu sendiri merupakan kata yang berbentuk perintah (‘amr). Perintah nikah itu sendiri disyariatkan dalam firman Allah: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui” (An-Nur: 32).
Tujuan utama pernikahan yang diajarkan dalam Islam adalah membangun sebuah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, yaitu keluarga yang dihiasi dengan penuh ketentraman, kecintaan, dan penuh rasa kasih sayang. Tuntunan ini sesuai dengan firman Allah SWT: “Di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah menjadikan untukmu pasangan-pasangan dari jenismu sendiri (manusia) supaya kamu cenderung dan merasa tenteram terhadapnya dan dijalinnya rasa kasih dan sayang (antara kamu sepasang). Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” (Al-Ahzab: 21). Dengan medasari tuntunan ayat tersebut, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 3 juga menegaskan hal yang sama bahwa “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan wa rahmah”. Jadi, sebuah keluarga baru bisa dianggap sukses apabila telah mecapai dan memenuhi tujuan yang dimaksud.
Sebuah pernikahan tidak hanya mencakup syarat adanya calon mempelai laki-laki dan mempelai perempuan. Prinsipnya, pernikahan itu telah dianggap sah apabila telah memenuhi syarat dan rukunnya. Mengabaikan salah satu syarat umum yang menentukan sah atau tidaknya sebuah pernikahan adalah sebagai berikut:
a. Mempelai perempuan halal dinikahi oleh mempelai laki-laki yang akan menjadi suaminya.
b. Dihadiri dua orang saksi laki-laki.
c. Ada wali mempelai perempuan yang melakukan akad pernikahan.
Syarat sahnya pernikahan tersebut harus diperhatikan oleh masing-masing pihak yang berhubungan dengan suatu (akad) pernikahan, baik calon mempelai perempuan, maupun wali dan saksi-saksinya, agar tidak timbul masalah dikemudian hari. Sebab, melaksanakan akad nikah yang tidak sah, yaitu akad yang tidak memenuhi syarat dan rukunny, maka menurut hukum Islam dipandang sebagai perbuatan yang sia-sia, tidak ada artinya, bahkan dipandang sebagai perbuatan melanggar hukum. Perbuatan ini termasuk kategori perbuatan yang berdosa dan mengandung maksiat.
Saat ini nikah siri menjadi sebuah fenomena dimana-mana. Nikah siri kian marak terjadi dan tidak hanya dilakukan oleh artis, pejabat, atau birokrat pemerintahan, tetapi juga oleh masyarakat umum dengan taraf ekonomi yang relative pas-pasan. Istilah “nikah siri” berasal dari bahasa Arab yang biasanya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia lebih kurang menjadi “nikah di bawah tangan”. Nikah siri menjadi perdebatan hangat karena sangat berbeda dengan nikah resmi pada umumnya. Apabila ditinjau dari sudut hukum Islam dan hukum positif nasional, pernikahan model ini menjadi perdebatan yang kompleks, dilematis, dan juga bersifat problematic. Menjabarkan dua pendekatan hukum itu sangat penting untuk menelisik problem nikah siri.
Fenomena nikah siri memberikan kesan yang menarik, antara lain sebagai berikut:
1. Nikah siri sepertinya memang benar-benar telah menjadi trend yang tidak saja dipraktekkan oleh masyarakat umum, namun juga dipraktekkan oleh figure masyarakat yang selama ini sering disebut dengan istilah kyai, dai, ustad, ulama, atau istilah lainnya yang menandai kemampuan seseorang mendalami agama (Islam).
2. Nikah siri sering ditempatkan menjadi sebuah pilihan ketika seseorang hendak berpoligami dengan sejumlah alasannya tersendiri.
Oleh karena itu penulisan makalah ini dilakukan oleh Penulis untuk mengkaji secara yuridis yang mengangkat judul tentang Nikah Siri Dipandang dari Perspektif Hukum, Baik Hukum Islam maupun Hukum Positif yang Berlaku Di Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka Penulis mencoba memformulasikan beberapa rumusan masalah agar pembahasan menjadi terarah dan tidak meluas, yaitu:
1. Bagaimana nikah siri dipandang dari Perspektif Hukum baik Hukum Islam maupun Hukum Positif Nasional ?
2. Bagaimana pengaruh dan akibat dari pernikahan yang tidak dicatatkan menurut Hukum Positif yang berlaku di Indonesia?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh Penulis sesuai dengan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pandangan mengenai nikah siri dilihat dari Perspektif Hukum baik Hukum Islam maupun Hukum Positif Nasional.
2. Untuk mengetahui pengaruh dan akibat dari pernikahan yang tidak dicatatkan menurut Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.
2. Manfaat Penulisan
Sehubungan dengan tujuan tersebut di atas, maka diharapkan Penulis makalah ini dapat bermanfaat:
1. Sebagai pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya pada hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia.
2. Agar menjadi sebuah sumbangan pemikiran terhadap pemerintah untuk dapat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat umum dalam melakukan pernikahan agar tidak bertentangan dengan hukum nasional.
3. Agar dapat digunakan oleh pihak-pihak lainnya sebagai referensi dari penulisan yang akan dilakukan selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan antara lain sebagai berikut:
1. Pernikahan tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan syariat.
2. Pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.
3. Pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang untuk merahasiakan pernikahannya.
Adapun hukum syariat atas ketiga fakta tersebut adalah sebagai berikut:
a. Hukum Pernikahan Tanpa Wali
Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah saw bersabda;
لا نكاح إلا بولي
“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].
Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:
أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل, فنكاحها باطل , فنكاحها باطل
“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].
Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
لا تزوج المرأة المرأة لا تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها
”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah (seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)
Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu, kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim). Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya kepada pelaku pernikahan tanpa wali.
b. Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil
Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua hukum yang harus dikaji secara berbeda, yakni:
(1) hukum pernikahannya.
(2) hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan Negara.
Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori ”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram, atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.
Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah atau makruh.
Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut, antara lain sebagai berikut:
1. Meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain sebagainya;
2. Mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci Rasul saw, dan lain sebagainya;
3. Melanggar aturan-aturan administrasi negara, seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan lain yang telah ditetapkan oleh negara.
Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan di lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut:
(1) wali
(2) dua orang saksi
(3) ijab qabul
Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.
Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut:
1. Pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya. Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari pernikahan siri tersebut.
2. Pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu, melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy bukan hanya dokumen tertulis.
Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah (2):
3. Dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara (dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas, pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.
Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel, tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.
Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya, aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.
Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat (in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.
Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya. Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya; sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu, Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan Negara.
Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah, walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah muakkadah). Nabi saw bersabda;
حَدَّثَنَا أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ
“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]
Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2) memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi apakah seseorang sudah menikah atau belum.
Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.
Bahaya Terselubung Surat Nikah
Walaupun pencatatan pernikahan bisa memberikan implikasi-implikasi positif bagi masyarakat, hanya saja keberadaan surat nikah acapkali juga membuka ruang bagi munculnya praktek-praktek menyimpang di tengah masyarakat. Lebih-lebih lagi, pengetahuan masyarakat tentang aturan-aturan Islam dalam hal pernikahan, talak, dan hukum-hukum ijtimaa’iy sangatlah rendah, bahwa mayoritas tidak mengetahui sama sekali. Diantara praktek-praktek menyimpang dengan mengatasnamakan surat nikah adalah;
Pertama, ada seorang suami mentalak isterinya sebanyak tiga kali, namun tidak melaporkan kasus perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga keduanya masih memegang surat nikah. Ketika terjadi sengketa waris atau anak, atau sengketa-sengketa lain, salah satu pihak mengklaim masih memiliki ikatan pernikahan yang sah, dengan menyodorkan bukti surat nikah. Padahal, keduanya secara syar’iy benar-benar sudah tidak lagi menjadi suami isteri.
Kedua, surat nikah kadang-kadang dijadikan alat untuk melegalkan perzinaan atau hubungan tidak syar’iy antara suami isteri yang sudah bercerai. Kasus ini terjadi ketika suami isteri telah bercerai, namun tidak melaporkan perceraiannya kepada pengadilan agama, sehingga masih memegang surat nikah. Ketika suami isteri itu merajut kembali hubungan suami isteri –padahal mereka sudah bercerai–, maka mereka akan terus merasa aman dengan perbuatan keji mereka dengan berlindung kepada surat nikah. Sewaktu-waktu jika ia tertangkap tangan sedang melakukan perbuatan keji, keduanya bisa berdalih bahwa mereka masih memiliki hubungan suami isteri dengan menunjukkan surat nikah.
Inilah beberapa bahaya terselubung di balik surat nikah. Oleh karena itu, penguasa tidak cukup menghimbau masyarakat untuk mencatatkan pernikahannya pada lembaga pencatatan sipil negara, akan tetapi juga berkewajiban mendidik masyarakat dengan hukum syariat –agar masyarakat semakin memahami hukum syariat–, dan mengawasi dengan ketat penggunaan dan peredaran surat nikah di tengah-tengah masyarakat, agar surat nikah tidak justru disalahgunakan.
Selain itu, penguasa juga harus memecahkan persoalan perceraian yang tidak dilaporkan di pengadilan agama, agar status hubungan suami isteri yang telah bercerai menjadi jelas. Wallahu a’lam bi al-shawab. (Syamsuddin Ramadhan An Nawiy).
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah dipaparkan, penulis menyimpulkan:
1. Hukum nikah siri bersifat prolematis. Mentor hukum Islam, nikah siri mungkin bisa dianggap sah asalkan sesuai dengan syarat dan rukun pernikahan, sebagaimana dipahami oleh sebagian kalangan ulama dan masyarakat muslim. Namun, dalam prespektif hukum Islam dalam nikah siri tidak hanya didasarkan pada syarat dan rukunnya, tetapi juga perlu melihat persoalan mengumumkan dan mencatatkan pernikahan secar resmi melalui pejabat yangberwenang. Berdasarkan hukum positif nasional, sudah sangat jelas bahwa nikah siri dinyatakan sebagai pernikahan tidak sah, bahkan dianggap illegal. Yang paling terpenting dari pernikahan itu adalah sah secar syariat agama dan hukum Negara, sehingga membawa kelaslahatan bagi semua pihak yang berhubungan dengan ikatan pernikahan itu.
2. Nikah siri tidak mulus diterapkan begitu saja. Terdapat sejumlah pengaruh yang mungkin saja di timbulkannya. Nikah siri juga menambah daftar praktik diskriminasi yang dilakukan laki-laki (suami) terhadap hak-hak perempuan. Pihak perempuan sering mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) akibat pernikahan secara siri ini. Tidak hanya itu, anak-anak juga menjadi korban pernikahan siri yang tidak bertanggung jawab.
B. Saran
Dari ulasan-ulasan yang telah dikemukakan di muka, maka penulis memberikan saran:
1. Diperlukan regulasi dan sangsi yang tegas agar masyarakat tidak melakukan perbuatan nikah siri.
2. Perlu adanya kepastian hukum dari pemerintah tentang nikah siri agar mayarakat mengetahui pengaruh dari nikah siri.
DAFTAR PUSTAKA
A. Litelatur Buku
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press, 2004.
Hamid, Zahri, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Binacipta, 1978.
Malik bin Anas, Imam, Al-Mutwaththa’ Imam Malik, terj. Nur Alim, Asep Saefullah, dan Rachmat Hidyatullah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Alquran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 1996.
Susanto, Happy, Nikah Siri Apa Untungnya, Jakarta: Visimedia, 2007.
B. Litelatur Internet
www.google.com/HTI.hukumislamtentangnikahsiri.blog
C. Lilelatur Kitab & Lainnya
1. Alquran;
2. Hadis;
3. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
5. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama; dan
6. Kompilasi Hukum Islam (KHI).
tugas hukum adat sejarahnya
HUKUM ADAT MASA PENJAJAHAN
A. Masa Kompeni (V.O.C., 1596-1808)
1. Pengusaha Ngiras Penguasa,
V.O.C. bermuka dua :
a. Pengusaha khususnya pedagang
b. Badan pemerintah dengan hak mengatur susunan rumah tangga beserta pengurusnya sendiri, sifat pertama itulah yang terutama menentukan sikap V.O.C. terhadap hukum adat.
Di pusat pemerintahan dinyatakan berlaku satu stelsel hukum untuk semua orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum belanda, baik hukum tatanegara, hukum privat, maupun hukum pidana. Di luar wilayah itu adat pribumi tidak di indahkan sama sekali. Jika lambat laun di sana-sini, wilayah di sekitar tempat kediaman gubernur , de facto masuk kedalam lingkungan kekuasaan V.O.C. maka diwilayah itu juga dinyatakan berlaku hukum kompeni untuk orang-orang Indonesia dan Cina. Keadaan itu menggambarkan prinsip yang hendak dipertahankan oleh V.O.C. yaitu di Wilayah yang dikuasai V.O.C. harus berlaku hukum V.O.C. baik bagi orang V.O.C. sendiri maupun orang Indonesia dan orang Asia lainnya yang berada di wilayah yang bersangkutan.
2. Kenyataan Menyimpang dari Prinsip
Kenyataannya hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli di wilayah yang dikuasai V.O.C pada umumnya adalah hukum adat, terkecuali dikota Betawi dan sekitarnya. Di dalam resolusi (keputusan) tanggal 21 Desember 1708 pimpinan V.O.C. mengakui terus terang bahwa prinsip tersebut tidak dapat di pertahankan didalam praktek, sebab politik yang dititik-beratkan pada pengerukan keuntungan materiil yang sebesar-besarnya tidak memungkinkan bagi V.O.C. untuk melengkapi aparatur pemerintahannya. Isi resolusi menunjukan dengan jelas bahwa peradilan asli masih tetap berlaku di wilayah Priangan. Namun, demi ketertiban dan keamanan di beberapa wilayah kekuasaannya, V.O.C. terpaksa turut campur dalam menetapkan hukum bagi orang Indonesia asli. Dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan hukum adat, yang dianggapnya identik dengan Hukum Islam. (kitab Hukum Mogharraer, Compendium van Clootwijk, Compendium Freyer, Pepakem Cirebon). Ini juga merupakan penyimpangan dari prinsip V.O.C.
3. Penilaian terhadap Hukum Adat
Pembuatan peraturan-peraturan tersebut memperlihatkan bahwa V.O.C. :
a. Masih belum menemukan hukum adat sebagai hukum rakyat, sebaliknya hukum adat diidentifikasikan dengan hukum islam atau hukum raja-raja, dan jika ada kesempatan maka hukum adat itu di buat dengan memuat banyak anasir hukum Barat (vide Pepakem Cirebon)
b. Mengira bahwa hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan berupa kitab-kitab hukum
c. Menjalankan politik hukum adat yang opportunistis, prinsip penerapan hukum kompeni kadang-kadang dipertahankan, kadang ditinggalkan.
V.O.C. menganggap hukum adat lebih rendah derajatnya daripada hukum Belanda. Terbukti dari resolusi tanggal 30 November 1747 yang menentukan bahwa Landraad Semarang wenang mengadili perkara sipil atau pidana dikalangan orang-orang Jawa.
B. Masa Pemerintahan Daendels (1808-1811)
1. Dewan Asia
Sesudah V.O.C. dibubarkan maka pengurusan atas harta kekayaan Bataafsache Republik (Republik Belanda) di Asia diteruskan oleh Dewan Asia. Tugas Dewan tersebut diliputi oleh semangat baru, yaitu harapan bahwa:
a. Politik pemerintahan akan dilakukan terlepas dari perhitungan komersial
b. Akan diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki nasib tanah jajahan beserta penduduknya.
2. Charter Tahun 1804
Dasar peradilan bagi orang Indonesia ditentukan dalam pasal 86 dari Charter (peraturan pemerintah) untuk harta kekayaan di Asia yang disahkan oleh Pemerintah Republik (Belanda) pada tanggal 27 September 1804. Pasal itu menyebutkan : susunan pengadilan untuk golongan Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum dan adat mereka.
3. Perlakuan terhadap Hukum Adat
Meskipun Daendels menganggap bahwa hukum adat banyak kelemahan (terutama mengenai hukum pidana), namun Daendels merasa segan mengganti hukum adat itu sekaligus dengan hukum Eropa. Pada pokoknya hukum adat akan diberlakukan untuk bangsa Indonesia. Namun hukum adat tidak boleh diterapkan, jika bertentangan dengan perintah kemudian atau perintah umumdari penguasaatau dengan asas-asas keadilan serta kepatutan.
Daendels memutuskan golongan Bumiputera di Jawa tetap dibiarkan memakai hukumnya (materiil dan formal) sendiri, dan oleh karena itu Landgerechten harus mengikutinya, namun hukum adat tidak akan diberlakukan:
a. Jika karenanya si penjahat dapat melepaskan diri dari pidananya, oleh sebab itu keadilan harus dituntut atas nama Pemerintah jika hal ini tidak atau tidak dapat dilakukan oleh orang biasa.
b. Bila pidana yang ditetapkan dalam hukum adat itu tidak sebanding dengan kejahatannya ataupun tidak cukup berat untuk menjamin keamanan umum, dalam hal ini pengadilan harus menetapkan pidana menurut kasus yang dihadapinya.
c. Jika hukum acara adat tidak mungkin menghasilkan bukti atau keyakinan Hakim, dalam hal ini Pengadilan diberi kuasa untuk memperbaikinya menurut permufakatan dan contoh dari hukum umum serta praktek.
Seperti halnya dengan pimpinan V.O.C. Daendels pun mengidentikkan hukum adat dengan hukum islam dan memandang rendah dengan hukum adat itu, sehingga tidak pantas diberlakukan terhadap orang Eropa.
C. Masa pemerintahan Raffles (1811-1816)
1. Agen politik
Raffles termasuk salah seorang perintis penemuan hukum adat, bersama-sama dengan Marsden dan Crawfurd. Sejak menjadi petugas “Kompeni Hindia-Timur” Inggris di pulau Pinang, Raffles tertarik oleh keindahan dan kekayaan nusantara beserta penduduknya, dengan hukum adatnya serta lembaga-lembaga sosial lainnya. Pengetahuan yang diperolehnya berdasarkan penyelidikan-penyelidikan setempat itu menyebabkan Raffles diangkat menjadi ”agen politik” dalam rangka rencana Inggris untuk merebut pulau Jawa dari tangan pemerintah Belanda. Tugasnya ialah:
a. Mengumpulkan bahan-bahan info yang berguna untuk maksud itu, teristimewa mengenai watak penduduk, sumber-sumber kemakmuran dan kadar pengaruh kekuasaan Belanda.
b. Membentangkan jaring-jaring intrige/helat dan mendesas-desuskan isu-isu yang menimbulkan keonaran diseluruh nusantara.
2. Letnan Gubernur jawa
Pandangan politiknya dipertahankan dan diusahakan realisasinya ketika Raffles menjadi Letnan gubernur pulau jawa. Raffles adalah anak jamannya, jaman liberalisme.oleh karena itu segala lembaga V.O.C. yang masih dipertahankan Daendles dan tidak sesuai dengan aliran jaman, karena merupakan sis jaman feudal barbarism (kebiadaban feodal), harus dilenyapkan selekas-lekasnya (misalnya: pajak yang harus dibayar dengan barang, kerja rodi, dan sebagainya).
Sebelum dapat diciptakan peraturan-peraturan baru yang sesuai dengan keadaan masyarakat pribumi maka susunan pemerintahan lama beserta lembaga-lembaganya untuk sementara waktu akan dilanjutkan, dengan kemungkinan untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dipandang urgent.
Terpengaruh oleh filsafat baru , aliran pikiran yang dijiwai asas perikemanusiaan yang berkembang di Eropa sejak akhir abad ke-18, maka raffles berhasrat melindungi kepentingan rakyat dan melenyapkanpengaruh atau setidak-tidaknya mengurangi kekuasaan kepala-kepala rakyat (Bupati, Demang dan sebagainya) yang berkedudukan selaku penguasa dibawah raja dan diatas rakyat. Untuk mencegah sewenang-wenang maka sebagai prinsip ditentukan oleh Raffles bahwa badan pemerintah yang terdiri atas orang-orang Barat harus mengadakan hubungan langsung dengan rakyat.
3. Chauvinisme
Tetapi usaha Raffles merealisasi cita-cita yang progresif itu dilakukan dengan landasan chauvinisme, nasionalisme yang berlebih-lebihan. Dalam membangun sistem pemerintahan baru raffles bertitik pangkal pada anggapan akan keunggulan bangsa Inggris didalam masyarakat Indonesia, meskipun bertentangan dengan kepentingan rakyat yang hendak dilindunginya.
4. Perlakuan Terhadap Hukum adat
Raffles mengadakan banyak perubahan dalam susunan badan-badan pengadilan, tetapi hukum materiilnya hampir-hampir tidak diubahnya. Dalam perkara antar-orang Indonesia pada umumnya diberlakukan hukum adat, dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan kodrat yang universal dandiakui atau dengan prinsip-prinsip keadilan hakiki yang diakui.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa hukum adat dipandang lebih rendah derajatnya daripada hukum Barat. Hukum Adat hanya dipandang baik untuk golongan rakyat Indonesia, tetapi tidak patut diberlakukan atas oarang Eropa.
A. Masa Kompeni (V.O.C., 1596-1808)
1. Pengusaha Ngiras Penguasa,
V.O.C. bermuka dua :
a. Pengusaha khususnya pedagang
b. Badan pemerintah dengan hak mengatur susunan rumah tangga beserta pengurusnya sendiri, sifat pertama itulah yang terutama menentukan sikap V.O.C. terhadap hukum adat.
Di pusat pemerintahan dinyatakan berlaku satu stelsel hukum untuk semua orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum belanda, baik hukum tatanegara, hukum privat, maupun hukum pidana. Di luar wilayah itu adat pribumi tidak di indahkan sama sekali. Jika lambat laun di sana-sini, wilayah di sekitar tempat kediaman gubernur , de facto masuk kedalam lingkungan kekuasaan V.O.C. maka diwilayah itu juga dinyatakan berlaku hukum kompeni untuk orang-orang Indonesia dan Cina. Keadaan itu menggambarkan prinsip yang hendak dipertahankan oleh V.O.C. yaitu di Wilayah yang dikuasai V.O.C. harus berlaku hukum V.O.C. baik bagi orang V.O.C. sendiri maupun orang Indonesia dan orang Asia lainnya yang berada di wilayah yang bersangkutan.
2. Kenyataan Menyimpang dari Prinsip
Kenyataannya hukum yang berlaku bagi orang Indonesia asli di wilayah yang dikuasai V.O.C pada umumnya adalah hukum adat, terkecuali dikota Betawi dan sekitarnya. Di dalam resolusi (keputusan) tanggal 21 Desember 1708 pimpinan V.O.C. mengakui terus terang bahwa prinsip tersebut tidak dapat di pertahankan didalam praktek, sebab politik yang dititik-beratkan pada pengerukan keuntungan materiil yang sebesar-besarnya tidak memungkinkan bagi V.O.C. untuk melengkapi aparatur pemerintahannya. Isi resolusi menunjukan dengan jelas bahwa peradilan asli masih tetap berlaku di wilayah Priangan. Namun, demi ketertiban dan keamanan di beberapa wilayah kekuasaannya, V.O.C. terpaksa turut campur dalam menetapkan hukum bagi orang Indonesia asli. Dibuatnya beberapa peraturan perundang-undangan hukum adat, yang dianggapnya identik dengan Hukum Islam. (kitab Hukum Mogharraer, Compendium van Clootwijk, Compendium Freyer, Pepakem Cirebon). Ini juga merupakan penyimpangan dari prinsip V.O.C.
3. Penilaian terhadap Hukum Adat
Pembuatan peraturan-peraturan tersebut memperlihatkan bahwa V.O.C. :
a. Masih belum menemukan hukum adat sebagai hukum rakyat, sebaliknya hukum adat diidentifikasikan dengan hukum islam atau hukum raja-raja, dan jika ada kesempatan maka hukum adat itu di buat dengan memuat banyak anasir hukum Barat (vide Pepakem Cirebon)
b. Mengira bahwa hukum adat terdapat dalam tulisan-tulisan berupa kitab-kitab hukum
c. Menjalankan politik hukum adat yang opportunistis, prinsip penerapan hukum kompeni kadang-kadang dipertahankan, kadang ditinggalkan.
V.O.C. menganggap hukum adat lebih rendah derajatnya daripada hukum Belanda. Terbukti dari resolusi tanggal 30 November 1747 yang menentukan bahwa Landraad Semarang wenang mengadili perkara sipil atau pidana dikalangan orang-orang Jawa.
B. Masa Pemerintahan Daendels (1808-1811)
1. Dewan Asia
Sesudah V.O.C. dibubarkan maka pengurusan atas harta kekayaan Bataafsache Republik (Republik Belanda) di Asia diteruskan oleh Dewan Asia. Tugas Dewan tersebut diliputi oleh semangat baru, yaitu harapan bahwa:
a. Politik pemerintahan akan dilakukan terlepas dari perhitungan komersial
b. Akan diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki nasib tanah jajahan beserta penduduknya.
2. Charter Tahun 1804
Dasar peradilan bagi orang Indonesia ditentukan dalam pasal 86 dari Charter (peraturan pemerintah) untuk harta kekayaan di Asia yang disahkan oleh Pemerintah Republik (Belanda) pada tanggal 27 September 1804. Pasal itu menyebutkan : susunan pengadilan untuk golongan Bumiputera akan tetap tinggal menurut hukum dan adat mereka.
3. Perlakuan terhadap Hukum Adat
Meskipun Daendels menganggap bahwa hukum adat banyak kelemahan (terutama mengenai hukum pidana), namun Daendels merasa segan mengganti hukum adat itu sekaligus dengan hukum Eropa. Pada pokoknya hukum adat akan diberlakukan untuk bangsa Indonesia. Namun hukum adat tidak boleh diterapkan, jika bertentangan dengan perintah kemudian atau perintah umumdari penguasaatau dengan asas-asas keadilan serta kepatutan.
Daendels memutuskan golongan Bumiputera di Jawa tetap dibiarkan memakai hukumnya (materiil dan formal) sendiri, dan oleh karena itu Landgerechten harus mengikutinya, namun hukum adat tidak akan diberlakukan:
a. Jika karenanya si penjahat dapat melepaskan diri dari pidananya, oleh sebab itu keadilan harus dituntut atas nama Pemerintah jika hal ini tidak atau tidak dapat dilakukan oleh orang biasa.
b. Bila pidana yang ditetapkan dalam hukum adat itu tidak sebanding dengan kejahatannya ataupun tidak cukup berat untuk menjamin keamanan umum, dalam hal ini pengadilan harus menetapkan pidana menurut kasus yang dihadapinya.
c. Jika hukum acara adat tidak mungkin menghasilkan bukti atau keyakinan Hakim, dalam hal ini Pengadilan diberi kuasa untuk memperbaikinya menurut permufakatan dan contoh dari hukum umum serta praktek.
Seperti halnya dengan pimpinan V.O.C. Daendels pun mengidentikkan hukum adat dengan hukum islam dan memandang rendah dengan hukum adat itu, sehingga tidak pantas diberlakukan terhadap orang Eropa.
C. Masa pemerintahan Raffles (1811-1816)
1. Agen politik
Raffles termasuk salah seorang perintis penemuan hukum adat, bersama-sama dengan Marsden dan Crawfurd. Sejak menjadi petugas “Kompeni Hindia-Timur” Inggris di pulau Pinang, Raffles tertarik oleh keindahan dan kekayaan nusantara beserta penduduknya, dengan hukum adatnya serta lembaga-lembaga sosial lainnya. Pengetahuan yang diperolehnya berdasarkan penyelidikan-penyelidikan setempat itu menyebabkan Raffles diangkat menjadi ”agen politik” dalam rangka rencana Inggris untuk merebut pulau Jawa dari tangan pemerintah Belanda. Tugasnya ialah:
a. Mengumpulkan bahan-bahan info yang berguna untuk maksud itu, teristimewa mengenai watak penduduk, sumber-sumber kemakmuran dan kadar pengaruh kekuasaan Belanda.
b. Membentangkan jaring-jaring intrige/helat dan mendesas-desuskan isu-isu yang menimbulkan keonaran diseluruh nusantara.
2. Letnan Gubernur jawa
Pandangan politiknya dipertahankan dan diusahakan realisasinya ketika Raffles menjadi Letnan gubernur pulau jawa. Raffles adalah anak jamannya, jaman liberalisme.oleh karena itu segala lembaga V.O.C. yang masih dipertahankan Daendles dan tidak sesuai dengan aliran jaman, karena merupakan sis jaman feudal barbarism (kebiadaban feodal), harus dilenyapkan selekas-lekasnya (misalnya: pajak yang harus dibayar dengan barang, kerja rodi, dan sebagainya).
Sebelum dapat diciptakan peraturan-peraturan baru yang sesuai dengan keadaan masyarakat pribumi maka susunan pemerintahan lama beserta lembaga-lembaganya untuk sementara waktu akan dilanjutkan, dengan kemungkinan untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dipandang urgent.
Terpengaruh oleh filsafat baru , aliran pikiran yang dijiwai asas perikemanusiaan yang berkembang di Eropa sejak akhir abad ke-18, maka raffles berhasrat melindungi kepentingan rakyat dan melenyapkanpengaruh atau setidak-tidaknya mengurangi kekuasaan kepala-kepala rakyat (Bupati, Demang dan sebagainya) yang berkedudukan selaku penguasa dibawah raja dan diatas rakyat. Untuk mencegah sewenang-wenang maka sebagai prinsip ditentukan oleh Raffles bahwa badan pemerintah yang terdiri atas orang-orang Barat harus mengadakan hubungan langsung dengan rakyat.
3. Chauvinisme
Tetapi usaha Raffles merealisasi cita-cita yang progresif itu dilakukan dengan landasan chauvinisme, nasionalisme yang berlebih-lebihan. Dalam membangun sistem pemerintahan baru raffles bertitik pangkal pada anggapan akan keunggulan bangsa Inggris didalam masyarakat Indonesia, meskipun bertentangan dengan kepentingan rakyat yang hendak dilindunginya.
4. Perlakuan Terhadap Hukum adat
Raffles mengadakan banyak perubahan dalam susunan badan-badan pengadilan, tetapi hukum materiilnya hampir-hampir tidak diubahnya. Dalam perkara antar-orang Indonesia pada umumnya diberlakukan hukum adat, dengan syarat tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan kodrat yang universal dandiakui atau dengan prinsip-prinsip keadilan hakiki yang diakui.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa hukum adat dipandang lebih rendah derajatnya daripada hukum Barat. Hukum Adat hanya dipandang baik untuk golongan rakyat Indonesia, tetapi tidak patut diberlakukan atas oarang Eropa.
tugas ham tentang lapindo
KASUS : KASUS LAPINDO MENGARAH KE PELANGGARAN HAM BERAT
Duaberita - Sidang Paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya secara aklamasi menyetujui rekomendasi Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo untuk membentuk Tim Penyelidikan Proyustisia berdasarkan Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM atas Peristiwa Lumpur Panas Lapindo. Tim menemukan dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus Lapindo yang mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Hal ini disampaikan oleh juru bicara Komnas HAM Hesti Armiwulan dalam Konferensi Pers kasus semburan lumpur panas lapindo di jakarta (25/2). Hadir dalam konferensi pers tersebut Kabul Supriadi (penanggungjawab tim ), Nur Kholis ( koordinator tim ) dan Syafruddin Ngulma ( Ketua tim ). Tim investigasi yang bekerja sejak April 2008 ini merupakan tim investigasi ke-3 dan dibentuk berdasarkan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Setelah melakukan invetigasi dan analisis, tim ini berkesimpulan telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus lumpur Lapindo.
"Komnas HAM mendesak Presiden untuk segera memulihkan hak-hak korban semburan lumpur panas dengan bertindak tegas serta mendesak PT Lapindo Brantas Inc untuk segera menerapkan ganti rugi dengan skema 20% dan 80% sesuai dengan skema Pepres No.14/2007 dan tidak memunculkan alternatif skema lainnya",demikian diungkapkan Syafruddin Ngulma Simeulue. Komnas HAM juga merekomendasikan agar pemerintah untuk segera mengamandemen segala produk hukum di bidang pertambangan dan migas yang tidak mengakomodir nilai serta hukum hak asasi manusia. Selain itu Komnas HAM mengganggap bahwa kasus semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur ini, diduga bukanlah disebabkan oleh bencana alam akibat gempa di Yogyakarta. Keputusan sidang paripurna Komnas HAM yang merekomendasikan untuk segera dibentuk Tim Projustisia untuk kasus yang lebih bernuansa ke pelanggaran hak ekosob ini merupakan suatu hal yang baru dalam ranah hukum HAM di Indonesia. Hal ini merupakan sebuah ijtihad atau tafsir hukum atas kasus lumpur Lapindo. "semua fakta yang ditemukan sudah jelas bahwa telah terjadi pelanggaran HAM seperti yang diatur dalam UU No.39/1999. Dan fakta yang ditemukan oleh tim investigasi di lapangan juga semakin menguatkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dengan adanya ribuan penduduk yang terpaksa eksodus dari akar lingkungan sosial budayanya," demikian ditegaskan oleh Nur Kholis.
Dalam memutuskan hal ini juga bukanlah suatu hal yang mudah bagi Komnas HAM, karena dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, untuk kasus-kasus yang dikenal kejahatan dan kekerasan negara, negara menggunakan kekuatan aparat keamanan, seperti kasus penculikan, pembunuhan massal, pengusiran dan lain-lain dan hal ini merupakan tanggungjawab negara. Namun dalam kasus ini Komnas HAM juga menduga adanya keterlibatan aktor non-negara dalam kasus semburan lumpur panas Lapindo sehingga aktor swasta tersebut harus secara langsung ikut bertanggung jawab dalam hal ini PT Lapindo Brantas Inc.
[ Sumber : Submitted by iben on Mon, 02/23/2009 - 05:04, http://www.komnasham.go.id/portal/id/content/kasus-lumpur-lapindo-mengarah-pada-dugaan-pelanggaran-ham-berat ] Senin, 02 Maret 2009 14:19 Media Jatim
ANALISIS:
Menurut pendapat saya mengenai kasus ini dilihat dari sudut pandang filosofis dan sosiologisnya maka kasus lapindo ini memang telah melanggar HAM. Semenjak diumumkan bahwa lumpur lapindo disebabkan karena bencana alam, PT Lapindo Brantas Inc. tidak bertanggung jawab dan merasa tidak bersalah dengan terjadinya lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Seharusnya mereka tetap bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dirugikan disana karena secara langsung maupun tidak langsung pengeboran yang mereka lakukan juga berpengaruh terhadap geologis wilayah sidoarjo dan mengakibatkan Lumpur lapindo.
Dalam permasalahan ini telah terjadi kerugian immateriil dan materiil. Kerugian immateriil mencakup korban jiwa, depresi berat dan kegilaan, kehilangan ketenteraman hidup, masa lalu dan lain sebagainya yang tentunya tidak dapat dikalkulasi secara matematis. Selanjutnya kerugian materiil adalah sebesar US$ 140-170 juta plus biaya relokasi penduduk sebesar Rp.1-2 trilyun (versi Tim Nasional) atau US$180 juta – Rp.3 milyar (versi Danareksa) ditambah dengan US$ 106 (estimasi kerugian oleh Elliot Association Pte. Ltd. hingga akhir 2006) (Lihat Majalah Tempo, Edisi 27 November 2006). Berdasarkan kajian Komnas HAM, terungkap telah terjadi kerusakan 170 hektar sawah, 3.614 orang dari 20 pabrik kehilangan pekerjaan, 1.532 keluarga (5.928 jiwa) kehilangan tempat tinggal, berbagai infrastruktur, seperti jalan, saluran irigasi, sekolah, kantor, masjid, musholla, dan puskesmas, rusak, serta sedikitnya 40 usaha kecil dan menengah tidak dapat berproduksi. Sedangkan PT Lapindo tidak memberikan uang ganti rugi seperti apa yang telah disepakati sehingga sampai saat ini korban lapindo menderita kerugian yang besar dan Hak Asasi nya dirampas. Setidaknya ada limabelas (15) hak yang terlanggar didalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang disebut dengan UU HAM yaitu hak hidup, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak-hak pengungsi, hak-hak kelompok rentan.
Dilihat dari sudut pandang yuridis mengenai perbuatan melawan hukum, yaitu kerugian telah jelas-jelas terjadi. Maka pemerintah harus tegas menangani kasus ini agar masyarakat mendapatkan keadilan dan perlindungan Hak Asasi Manusia nya yang termuat dalam Pasal 71-72 UU HAM. Sebagaimana telah diatur dalam Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dalam UU HAM serta UU ECOSOB di Indonesia. Pemerintah juga bertanggung jawab mengenai kasus ini karena dalam kejadian ini karena kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kegiatan lapindo yang seharusnya selalu dipantau. Karena itu pemerintah dan PT Lapindo Brantas Inc. harus menyelesaikan dan bertanggung jawab atas kelalaian mereka. Pemerintah harus mengambil tindakan yang jelas dan adil agar tidak terjadi pelanggaran seperti ini lagi dan masyarakat akan merasa aman sehingga tujuan hukum itu dapat tercapai. Apabila pemerintah hanya diam atau malah membela yang salah maka akan semakin banyak masyarakat yang akan dirugikan. Kasus ini terlalu lama dan belum tuntas, pemerintah harus memberikan sangsi yang tegas sesuai dengan pelanggaran apa yang dilakukan bagi pihak-pihak yang tidak menjalankan tanggung jawabnya. Pihak-pihak yang bertanggung jawab harus menuntaskan kewajibannya dan pemerintah membantu dan mengawasi pelaksanaannya.
Duaberita - Sidang Paripurna Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) akhirnya secara aklamasi menyetujui rekomendasi Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo untuk membentuk Tim Penyelidikan Proyustisia berdasarkan Undang-Undang No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM atas Peristiwa Lumpur Panas Lapindo. Tim menemukan dugaan telah terjadi pelanggaran HAM berat dalam kasus Lapindo yang mengarah pada kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity). Hal ini disampaikan oleh juru bicara Komnas HAM Hesti Armiwulan dalam Konferensi Pers kasus semburan lumpur panas lapindo di jakarta (25/2). Hadir dalam konferensi pers tersebut Kabul Supriadi (penanggungjawab tim ), Nur Kholis ( koordinator tim ) dan Syafruddin Ngulma ( Ketua tim ). Tim investigasi yang bekerja sejak April 2008 ini merupakan tim investigasi ke-3 dan dibentuk berdasarkan UU No.39 tahun 1999 tentang HAM. Setelah melakukan invetigasi dan analisis, tim ini berkesimpulan telah terjadi pelanggaran HAM dalam kasus lumpur Lapindo.
"Komnas HAM mendesak Presiden untuk segera memulihkan hak-hak korban semburan lumpur panas dengan bertindak tegas serta mendesak PT Lapindo Brantas Inc untuk segera menerapkan ganti rugi dengan skema 20% dan 80% sesuai dengan skema Pepres No.14/2007 dan tidak memunculkan alternatif skema lainnya",demikian diungkapkan Syafruddin Ngulma Simeulue. Komnas HAM juga merekomendasikan agar pemerintah untuk segera mengamandemen segala produk hukum di bidang pertambangan dan migas yang tidak mengakomodir nilai serta hukum hak asasi manusia. Selain itu Komnas HAM mengganggap bahwa kasus semburan lumpur panas yang terjadi di Sidoarjo, Jawa Timur ini, diduga bukanlah disebabkan oleh bencana alam akibat gempa di Yogyakarta. Keputusan sidang paripurna Komnas HAM yang merekomendasikan untuk segera dibentuk Tim Projustisia untuk kasus yang lebih bernuansa ke pelanggaran hak ekosob ini merupakan suatu hal yang baru dalam ranah hukum HAM di Indonesia. Hal ini merupakan sebuah ijtihad atau tafsir hukum atas kasus lumpur Lapindo. "semua fakta yang ditemukan sudah jelas bahwa telah terjadi pelanggaran HAM seperti yang diatur dalam UU No.39/1999. Dan fakta yang ditemukan oleh tim investigasi di lapangan juga semakin menguatkan adanya dugaan pelanggaran HAM berat dengan adanya ribuan penduduk yang terpaksa eksodus dari akar lingkungan sosial budayanya," demikian ditegaskan oleh Nur Kholis.
Dalam memutuskan hal ini juga bukanlah suatu hal yang mudah bagi Komnas HAM, karena dalam UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, untuk kasus-kasus yang dikenal kejahatan dan kekerasan negara, negara menggunakan kekuatan aparat keamanan, seperti kasus penculikan, pembunuhan massal, pengusiran dan lain-lain dan hal ini merupakan tanggungjawab negara. Namun dalam kasus ini Komnas HAM juga menduga adanya keterlibatan aktor non-negara dalam kasus semburan lumpur panas Lapindo sehingga aktor swasta tersebut harus secara langsung ikut bertanggung jawab dalam hal ini PT Lapindo Brantas Inc.
[ Sumber : Submitted by iben on Mon, 02/23/2009 - 05:04, http://www.komnasham.go.id/portal/id/content/kasus-lumpur-lapindo-mengarah-pada-dugaan-pelanggaran-ham-berat ] Senin, 02 Maret 2009 14:19 Media Jatim
ANALISIS:
Menurut pendapat saya mengenai kasus ini dilihat dari sudut pandang filosofis dan sosiologisnya maka kasus lapindo ini memang telah melanggar HAM. Semenjak diumumkan bahwa lumpur lapindo disebabkan karena bencana alam, PT Lapindo Brantas Inc. tidak bertanggung jawab dan merasa tidak bersalah dengan terjadinya lumpur lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Seharusnya mereka tetap bertanggung jawab terhadap masyarakat yang dirugikan disana karena secara langsung maupun tidak langsung pengeboran yang mereka lakukan juga berpengaruh terhadap geologis wilayah sidoarjo dan mengakibatkan Lumpur lapindo.
Dalam permasalahan ini telah terjadi kerugian immateriil dan materiil. Kerugian immateriil mencakup korban jiwa, depresi berat dan kegilaan, kehilangan ketenteraman hidup, masa lalu dan lain sebagainya yang tentunya tidak dapat dikalkulasi secara matematis. Selanjutnya kerugian materiil adalah sebesar US$ 140-170 juta plus biaya relokasi penduduk sebesar Rp.1-2 trilyun (versi Tim Nasional) atau US$180 juta – Rp.3 milyar (versi Danareksa) ditambah dengan US$ 106 (estimasi kerugian oleh Elliot Association Pte. Ltd. hingga akhir 2006) (Lihat Majalah Tempo, Edisi 27 November 2006). Berdasarkan kajian Komnas HAM, terungkap telah terjadi kerusakan 170 hektar sawah, 3.614 orang dari 20 pabrik kehilangan pekerjaan, 1.532 keluarga (5.928 jiwa) kehilangan tempat tinggal, berbagai infrastruktur, seperti jalan, saluran irigasi, sekolah, kantor, masjid, musholla, dan puskesmas, rusak, serta sedikitnya 40 usaha kecil dan menengah tidak dapat berproduksi. Sedangkan PT Lapindo tidak memberikan uang ganti rugi seperti apa yang telah disepakati sehingga sampai saat ini korban lapindo menderita kerugian yang besar dan Hak Asasi nya dirampas. Setidaknya ada limabelas (15) hak yang terlanggar didalam Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang disebut dengan UU HAM yaitu hak hidup, hak atas rasa aman, hak atas informasi, hak pengembangan diri, hak atas perumahan, hak atas pangan, hak atas kesehatan, hak atas pekerjaan, hak pekerja, hak atas pendidikan, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak atas kesejahteraan, hak atas jaminan sosial, hak-hak pengungsi, hak-hak kelompok rentan.
Dilihat dari sudut pandang yuridis mengenai perbuatan melawan hukum, yaitu kerugian telah jelas-jelas terjadi. Maka pemerintah harus tegas menangani kasus ini agar masyarakat mendapatkan keadilan dan perlindungan Hak Asasi Manusia nya yang termuat dalam Pasal 71-72 UU HAM. Sebagaimana telah diatur dalam Konvenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang diratifikasi dalam UU HAM serta UU ECOSOB di Indonesia. Pemerintah juga bertanggung jawab mengenai kasus ini karena dalam kejadian ini karena kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kegiatan lapindo yang seharusnya selalu dipantau. Karena itu pemerintah dan PT Lapindo Brantas Inc. harus menyelesaikan dan bertanggung jawab atas kelalaian mereka. Pemerintah harus mengambil tindakan yang jelas dan adil agar tidak terjadi pelanggaran seperti ini lagi dan masyarakat akan merasa aman sehingga tujuan hukum itu dapat tercapai. Apabila pemerintah hanya diam atau malah membela yang salah maka akan semakin banyak masyarakat yang akan dirugikan. Kasus ini terlalu lama dan belum tuntas, pemerintah harus memberikan sangsi yang tegas sesuai dengan pelanggaran apa yang dilakukan bagi pihak-pihak yang tidak menjalankan tanggung jawabnya. Pihak-pihak yang bertanggung jawab harus menuntaskan kewajibannya dan pemerintah membantu dan mengawasi pelaksanaannya.
Rangkuman Sejarah Hukum Adat Pada Zaman Penjajahan
Pada zaman V.O.C. orang-orang Belanda tidak menemukan Hukum Adat dalam arti yang telah diuraikan di atas, namun V.O.C. mempunyai alasan untuk mencampuri Hukum Adat. Berdasarkan pertimbangan praktis, di beberapa tempat tertentu sebagai usaha penertiban dan pemeliharaan bagi dirinya, V.O.C. terpaksa turut campur dalam mengatur Hukum bagi orang Indonesia asli, yang oleh V.O.C. masih dianggap bagian terbesarnya terdiri atas peraturan Agama Islam.
Pada tahun 1750, 1759, 1760, dan 1768 turut campurnya V.O.C. dalam usaha penertiban hukum orang Indonesia asli itu menghasilkan 4 kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang Indonesia asli yang berikut:
1. Untuk keperluan Landraad di Semarang pada tahun 1750 dibuat suatu Compendium (Pegangan, ikhtisar) dari Undang-undang orang Jawa yang terpenting, yang terkenal dengan nama “Kitab Hukum Mogharrar”. Kitab hukum itu bermaksud memuat hukum pidana Jawa, tetapi ternyata yang dibuat ialah Hukum Pidana Islam. Kodifikasi hukum ini kemudian dipublikasikan dalam majalah : “Regt in Nederlandsch Indie” dan oleh sebab itu pada tahun 1854 menjadi salah satu pokok pembicaraan di dalam pembentukan R.R. 1854.
2. Pada tahun 1759 oleh pimpinan V.O.C. disahkan suatu Compendium van Clootwijck tentang undang-undang Bumi Putera di lingkungan Kraton Bone dan Goa, berlaku sejak dahulu sampai sekarang. Pencacatan hukum adat itu dibuat oleh van Clootwijck yang menjadi GUbernur Pantai Sulawesi dari tahun 1752 sampai tahun 1755. Meskipun Compendium itu sudah agak usang, namun masih dipakai oleh peradilan Bumi Putera pada permulaan abad ini.
3. Pada tahun 1760 oleh Pimpinan V.O.C. dikeluarkan suatu Himpunan Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan. Himpunan itu terkenal dengan nama “Compendium Freijer”, karena disusun Freijer, yang menjabat “Kuasa Pemerintah di bidang urusan-urusan orang Bumi Putera”. Pencacatan Hukum Islam ini bertahan lama. Beberapa bagian dari Compendium tersebut dicabut dengan berangsur-angsur pada abad ke 19, sedangkan bagian terakhir (mengenai warisan) pada tahun 1913.
4. Oleh Cornelis Hasselaer yang menjadi Residen di Cirebon (1757-1765) direncanakan pembutan suatu Kitab Hukum Adat yang menjadi “Suatu Pemimpin Hukum Adat Bagi Hakim-hakim di Cirebon”. Kitab hukum adat yang merupakan karya bikinan, hanya berdasarkan bahan tertulis dan tidak berdasarkan penyelidikan di tempat itu terkenal dengan nama “Pepakem Cirebon”. Karya itu masih mengandung banyak kekurangan, tetapi membuktikan bahwa orang yang sudah mulai menyadari akan adanya Hukum Adat (van Vollenhoven).
Dipusat pemerintahan dinyatakan berlakusatu stelsel hukum untuk semua orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum Belanda, baik hukum tatanegara, hukum privat maupun hukum pidana. Diluar wilayah itu adat pribumi tidak diindahkan sama sekali.
Sesudah V.O.C. dibubarkan, maka pengurusan atas ”harta kekayaan Bataafsche Republik (Republik Belanda) di Asia” diteruskan oleh “Dewan Asia”. Tugas dewan tersebut diliputi oleh semangat baru, yaitu harapan bahwa:
1. Politik pemerintahan akan dilakukan terlepas dari perhitungan komersial;
2. Akan diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki nasib tanah jajahan beserta penduduknya.
Dasar peradilan bagi orang Indonesia ditentukan dalam pasal 86 dari Charter (peraturan pemerintah) untuk harta kekayaan di Asia yang disahkan oleh Pemerintah Republik (Belanda) pada tanggal 27 September 1804. Meskipun Deandels menganggap bahwa hukum adat dilekati beberapa kelemahan (terutama mengenai hukum pidana), namun ia merasa segan mengganti hukum adat itu sekaligus dengan hukum Eropa. Oleh karena itu ia menempuh jalan tengah : pada pokoknya hukum adat akan diberlakukan untuk bangsa Indonesia. Namun hukum adat itu tidak boleh diterapkan, “jika bertentangan dengan perintah kemudian dan perintah umum dari pengusaha atau dengan asas-asas keadilan serta kepatutan, ataupun bila karenanya dalam perkara-perkara pidana kepentingan dari keamanan umum, tidak terpelihara”.
Seperti halnya dengan pimpinan V.O.C., Deandels pun mengindentikan hukum adat dengan hukum islam dan memandang rendah hukum adat itu, sehingga tidak pantas diberlakukan terhadap orang Eropa.
Raffles termasuk salah seorang perintis penemuan hukum adat, bersama-sama dengan Marsden dan Crawfurd. Sejak menjadi petugas “Kompeni Hindia-Timur” Inggris di pulau Pinang, raffles tertarik oleh keindahan dan kekayaan nusantara beserta penduduknya, dengan hukum adatnya serta lembaga-lembaga social lainnya. Pengetahuan yang diperolehnya berdasarkan penyelidikan-penyelidikan setempat itu menyebabkan raffles diangkat menjadi “agen politik” dalam rangka rencana Inggris untuk merebut pulau Jawa dari tangan pemerintah Belanda.
Raffles mengadakan banyak perubahan dalam susunan badan-badan pengadilan; tetapi hukum materiilnya hamper-hampir tidak diubahnya. Dalam perkara antar-orang Indonesia pada umumnya diberlakukan hukum adat, dengan syarat : tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan kodrat yang universal dan diakui atau dengan prinsip-prinsip keadilan hakiki yang diakui.
Tentang penilaiannya terhadap hukum adat harus dibedakan antara dua bidang:
1. Hukum pidana
2. Hukum perdata
Dibidang hukum pidana, raffles mencela sanksi pidana yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman (misalnya pidana “bakar hidup”, pidana “tikam dengan keris”). Dilapangan hukum perdata, raffles menetapkan : jika salah seorang dari pihak yang bersengketa – baik penggugat ataupun tergugat adalah orang Eropa, maka perkaranya harus diadili oleh Court of Justice, yang menerapkan hukum Eropa.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa hukum adat dipandang lebih rendah derajatnya daripada hukum barat. Hukum adat hanya dipandang baik untuk golongan rakyat Indonesia, tetapi tidak patut diberlakukan atas orang Eropa.
Pada zaman V.O.C. orang-orang Belanda tidak menemukan Hukum Adat dalam arti yang telah diuraikan di atas, namun V.O.C. mempunyai alasan untuk mencampuri Hukum Adat. Berdasarkan pertimbangan praktis, di beberapa tempat tertentu sebagai usaha penertiban dan pemeliharaan bagi dirinya, V.O.C. terpaksa turut campur dalam mengatur Hukum bagi orang Indonesia asli, yang oleh V.O.C. masih dianggap bagian terbesarnya terdiri atas peraturan Agama Islam.
Pada tahun 1750, 1759, 1760, dan 1768 turut campurnya V.O.C. dalam usaha penertiban hukum orang Indonesia asli itu menghasilkan 4 kodifikasi dan pencatatan hukum bagi orang Indonesia asli yang berikut:
1. Untuk keperluan Landraad di Semarang pada tahun 1750 dibuat suatu Compendium (Pegangan, ikhtisar) dari Undang-undang orang Jawa yang terpenting, yang terkenal dengan nama “Kitab Hukum Mogharrar”. Kitab hukum itu bermaksud memuat hukum pidana Jawa, tetapi ternyata yang dibuat ialah Hukum Pidana Islam. Kodifikasi hukum ini kemudian dipublikasikan dalam majalah : “Regt in Nederlandsch Indie” dan oleh sebab itu pada tahun 1854 menjadi salah satu pokok pembicaraan di dalam pembentukan R.R. 1854.
2. Pada tahun 1759 oleh pimpinan V.O.C. disahkan suatu Compendium van Clootwijck tentang undang-undang Bumi Putera di lingkungan Kraton Bone dan Goa, berlaku sejak dahulu sampai sekarang. Pencacatan hukum adat itu dibuat oleh van Clootwijck yang menjadi GUbernur Pantai Sulawesi dari tahun 1752 sampai tahun 1755. Meskipun Compendium itu sudah agak usang, namun masih dipakai oleh peradilan Bumi Putera pada permulaan abad ini.
3. Pada tahun 1760 oleh Pimpinan V.O.C. dikeluarkan suatu Himpunan Peraturan Hukum Islam mengenai nikah, talak, dan warisan. Himpunan itu terkenal dengan nama “Compendium Freijer”, karena disusun Freijer, yang menjabat “Kuasa Pemerintah di bidang urusan-urusan orang Bumi Putera”. Pencacatan Hukum Islam ini bertahan lama. Beberapa bagian dari Compendium tersebut dicabut dengan berangsur-angsur pada abad ke 19, sedangkan bagian terakhir (mengenai warisan) pada tahun 1913.
4. Oleh Cornelis Hasselaer yang menjadi Residen di Cirebon (1757-1765) direncanakan pembutan suatu Kitab Hukum Adat yang menjadi “Suatu Pemimpin Hukum Adat Bagi Hakim-hakim di Cirebon”. Kitab hukum adat yang merupakan karya bikinan, hanya berdasarkan bahan tertulis dan tidak berdasarkan penyelidikan di tempat itu terkenal dengan nama “Pepakem Cirebon”. Karya itu masih mengandung banyak kekurangan, tetapi membuktikan bahwa orang yang sudah mulai menyadari akan adanya Hukum Adat (van Vollenhoven).
Dipusat pemerintahan dinyatakan berlakusatu stelsel hukum untuk semua orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum Belanda, baik hukum tatanegara, hukum privat maupun hukum pidana. Diluar wilayah itu adat pribumi tidak diindahkan sama sekali.
Sesudah V.O.C. dibubarkan, maka pengurusan atas ”harta kekayaan Bataafsche Republik (Republik Belanda) di Asia” diteruskan oleh “Dewan Asia”. Tugas dewan tersebut diliputi oleh semangat baru, yaitu harapan bahwa:
1. Politik pemerintahan akan dilakukan terlepas dari perhitungan komersial;
2. Akan diadakan perubahan-perubahan untuk memperbaiki nasib tanah jajahan beserta penduduknya.
Dasar peradilan bagi orang Indonesia ditentukan dalam pasal 86 dari Charter (peraturan pemerintah) untuk harta kekayaan di Asia yang disahkan oleh Pemerintah Republik (Belanda) pada tanggal 27 September 1804. Meskipun Deandels menganggap bahwa hukum adat dilekati beberapa kelemahan (terutama mengenai hukum pidana), namun ia merasa segan mengganti hukum adat itu sekaligus dengan hukum Eropa. Oleh karena itu ia menempuh jalan tengah : pada pokoknya hukum adat akan diberlakukan untuk bangsa Indonesia. Namun hukum adat itu tidak boleh diterapkan, “jika bertentangan dengan perintah kemudian dan perintah umum dari pengusaha atau dengan asas-asas keadilan serta kepatutan, ataupun bila karenanya dalam perkara-perkara pidana kepentingan dari keamanan umum, tidak terpelihara”.
Seperti halnya dengan pimpinan V.O.C., Deandels pun mengindentikan hukum adat dengan hukum islam dan memandang rendah hukum adat itu, sehingga tidak pantas diberlakukan terhadap orang Eropa.
Raffles termasuk salah seorang perintis penemuan hukum adat, bersama-sama dengan Marsden dan Crawfurd. Sejak menjadi petugas “Kompeni Hindia-Timur” Inggris di pulau Pinang, raffles tertarik oleh keindahan dan kekayaan nusantara beserta penduduknya, dengan hukum adatnya serta lembaga-lembaga social lainnya. Pengetahuan yang diperolehnya berdasarkan penyelidikan-penyelidikan setempat itu menyebabkan raffles diangkat menjadi “agen politik” dalam rangka rencana Inggris untuk merebut pulau Jawa dari tangan pemerintah Belanda.
Raffles mengadakan banyak perubahan dalam susunan badan-badan pengadilan; tetapi hukum materiilnya hamper-hampir tidak diubahnya. Dalam perkara antar-orang Indonesia pada umumnya diberlakukan hukum adat, dengan syarat : tidak boleh bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan kodrat yang universal dan diakui atau dengan prinsip-prinsip keadilan hakiki yang diakui.
Tentang penilaiannya terhadap hukum adat harus dibedakan antara dua bidang:
1. Hukum pidana
2. Hukum perdata
Dibidang hukum pidana, raffles mencela sanksi pidana yang tidak sesuai lagi dengan kemajuan jaman (misalnya pidana “bakar hidup”, pidana “tikam dengan keris”). Dilapangan hukum perdata, raffles menetapkan : jika salah seorang dari pihak yang bersengketa – baik penggugat ataupun tergugat adalah orang Eropa, maka perkaranya harus diadili oleh Court of Justice, yang menerapkan hukum Eropa.
Dari kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa hukum adat dipandang lebih rendah derajatnya daripada hukum barat. Hukum adat hanya dipandang baik untuk golongan rakyat Indonesia, tetapi tidak patut diberlakukan atas orang Eropa.
sahabatku...
Samarinda, 01 September 2009
Dear. My Best Friends
Indrawati Jelek, kwakakak…
Di-
Mana-mana ^_^
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
HAPPY BIRTDAY MY BEST FRIENDS
Ke – 20 Taon
Aku minta maaf baru bisa kasih kado ini sekarang karena kamu khan pulang kampong jadi nggak sempet dech (alesan,he…). Ini memang bukan barang mahal tapi ini tulus aku berikan ke kamu karena kamu adalah sahabat ku yang baik. Aku bingung mau nulis apaan coz banyak banget yang luar biasa terjadi saat kita berteman sampai sekarang.
Udah dua tahun kita temenan, nggak terasa ya. Aku tau aku sering banget buat kamu sebel karena sikap aku yang tempramen, seenaknya ngina n ngata2in orang and banyak lagi sikap burukku yang aku mau pertahanin kok, hahahaha…
Semenjak kehilangan Ria dan Risa aku mulai sadar itu hukum alam namanya juga hidup. Mencari teman sejati itu sangat sulit sekali, moga kita bisa menjadi teman sejati ya in.
Di umur kamu yang ke 20 ini aku cuma bisa mendoakan moga apa yang kamu inginkan dan cita-citakan dapat tercapai. Moga kamu makin dewasa dalam menangani segala problema hidup.
Kehidupan adalah guru dari ilmu. Saat kita hidup maka kita akan terus belajar dari kehidupan itu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
By. Your Friends Irin Faoziawati, SH.
Dear. My Best Friends
Indrawati Jelek, kwakakak…
Di-
Mana-mana ^_^
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
HAPPY BIRTDAY MY BEST FRIENDS
Ke – 20 Taon
Aku minta maaf baru bisa kasih kado ini sekarang karena kamu khan pulang kampong jadi nggak sempet dech (alesan,he…). Ini memang bukan barang mahal tapi ini tulus aku berikan ke kamu karena kamu adalah sahabat ku yang baik. Aku bingung mau nulis apaan coz banyak banget yang luar biasa terjadi saat kita berteman sampai sekarang.
Udah dua tahun kita temenan, nggak terasa ya. Aku tau aku sering banget buat kamu sebel karena sikap aku yang tempramen, seenaknya ngina n ngata2in orang and banyak lagi sikap burukku yang aku mau pertahanin kok, hahahaha…
Semenjak kehilangan Ria dan Risa aku mulai sadar itu hukum alam namanya juga hidup. Mencari teman sejati itu sangat sulit sekali, moga kita bisa menjadi teman sejati ya in.
Di umur kamu yang ke 20 ini aku cuma bisa mendoakan moga apa yang kamu inginkan dan cita-citakan dapat tercapai. Moga kamu makin dewasa dalam menangani segala problema hidup.
Kehidupan adalah guru dari ilmu. Saat kita hidup maka kita akan terus belajar dari kehidupan itu.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
By. Your Friends Irin Faoziawati, SH.
makalah hukum adat
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara mengakui dan menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban (UUD’1945, Ps. 28 I ayat 3. Selanjutnya Negara dalam hal ini Pemerintah dan segenap komponen bangsa diamanahkan oleh UUD’1945 untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya (UUD’1945, Ps.32 ayat 1).
Dalam rangka memenuhi amanah Undang-Undang Dasar ini beberapa hal yang berkaitan dengan penerapan dan penegakan hukum adat diatur pula dalam undang-undang organik, misalnya dalam Undang Undang no.32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab XI yang mengatur tentang desa dan pemerintahan desa, pada Ps. 203 (3) menegaskan bahwa “pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Menurut pendapat penulis, yang perlu mendapat pemahaman lebih mendalam adalah hal apa yang harus menjadi tolok ukur untuk dapat menyatakan apakah Hukum Adat, masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya diakui masih hidup atau tidak. Untuk menjawab persoalan ini , Moh. Koesnoe (Catetan-Catetan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini,1979) dengan mensitir pendapat Djojodiguno mengatakan bahwa untuk dinyatakannya hukum adat sebagai hukum yang berlaku (hukum positif) tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi ,akan tetapi hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-pernyataan (menurut penulis termasuk ‘ungkapan –ungkapan simbolik bermakna’) yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran.
Jadi hal ini memang berbeda dengan pendapat para ahli hukum adat yang lain (Vollenhoven, Ter Haar, Kusumadi Pujosewojo) yang menunjuk kepada sanksi yang harus dijatuhkan/diputus oleh Hakim atau penguasa adat sebagai ciri untuk menyatakan adat sebagai hukum (hukum adat). Lebih tegas lagi Koesnoe mengatakan bahwa pilihan untuk menetapkan hukum dengan penggunaan sanksi sebagai ciri pokoknya akan membawa kekecewaan didalam menentukan apa yang hukum didalam adat (Koesnoe,1979 :5 – 6).
Sejalan dengan pendapat Koesnoe, Haryono mengatakan bahwa dikenal beberapa ciri dari Hukum Adat dan salah satu ciri penting adalah asas-asas hukum adat dirumuskan dalam bentuk seloka, pribahasa (perumpamaan) ataupun cerita (Haryono, 1994 :48). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum adat dalam arti berlakunya dalam kehidupan masyarakat aturan-aturan yang bersifat ‘non-statutair’(Wignjodipoero,1992 : 16), adalah apabila dalam kehidupan sehari-hari benar-benar dirasakan sebagai norma-norma kehidupan (uger-ugeran) yang menjiwai dalam hubungan antar sesama sebagai pernyataan rasa keadilan terutama dalam hubungan pamrih, keberadaan sanksi lebih terkait dengan penegakannya. Sanksi dalam hal ini tidak seharusnya dalam bentuk konkrit (tegas) tetapi bisa juga dalam bentuk sanksi moral.
Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikultural, multi etnik, agama, ras, dan multi golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan negara kesatuan republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke, di satu sisi Indonesia memiliki sumber daya alam (natural resources) yang kaya dan melimpah bak untaian zamrud mutu manikam di bentang garis katulistiwa, dan di sisi lain juga berwujud sebagai sumber daya budaya (cultural resources) yang beragam coraknya (Koentjaraningrat, 1988; Hardjono, 1991).
Dari satu sisi, secara teoritis keragaman budaya (multikultural) merupakan konfigurasi budaya (cultural configuration) yang mencerminkan jatidiri bangsa, dan secara empirik menjadi unsur pembentuk negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Selain itu, kemajemukan budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara (Dhari dan Suparman, 1999).
Namun demikian, dari sisi yang lain kemajemukan budaya juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam integrasi bangsa, karena konflik antar budaya dalam wujud pertikaian antar etnik, antar penganut agama, ras maupun antar golongan bersifat sangat sensitif dan rentan terhadap suatu kondisi yang menjurus ke disintegrasi bangsa. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila konflik tersebut tidak dikelola, dimaknai, dan diselesaikan secara santun, damai, dan bijaksana oleh pemerintah bersama seluruh komponen anak bangsa.
Secara antropologis, konflik merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan (inherent) dari kehidupan manusia, apalagi dalam masyarakat bercorak multikultural. Ia tidak mungkin dihindari atau diabaikan dalam kehidupan bersama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana konflik itu dikelola, dikendalikan, diakomodasi, dan diselesaikan secara damai dan bijaksana agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial dalam kehidupan masyarakat (Bohanan, 1967; Spradley & McCurdy, 1987).
Dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini, kasus-kasus konflik yang bersumber dari potensi kemajemukan budaya cenderung semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Konflik-konflik dalam kehidupan masyarakat di Aceh, Abepura dan Timika (Papua), Ambon (Maluku), Ternate (Maluku Utara), Sampit-Sambas (Kalimantan Tengah), Pasuruan-Situbondo (Jawa Timur), DKI Jakarta, Mataram (NTB), Lampung, Poso (Sulawesi Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), dan lain-lain merupakan cerminan dari sensitifitas dari potensi keragaman budaya menimbulkan konflik dan pertikaian antar etnik, antar komunitas agama, dan/atau antar golongan yang terjadi di berbagai kawasan Indonesia.
Dari perspektif antropologi hukum, fenomena konflik muncul karena adanya konflik nilai (conflict of value), konflik norma (conflict of norm), dan/atau konflik kepentingan (conflict of interest) dari komunitas-komunitas etnik, agama, maupun golongan termasuk juga komunitas politik dalam masyarakat. Selain itu, dapat dicermati bahwa konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat juga bersumber dari persoalan diskriminasi pengaturan dan perlakuan pemerintah pusat terhadap komunitas-komunitas masyarakat di daerah, dengan menggunakan apa yang disebut Bodley (1982) sebagai the political of ignorance dalam bentuk perlakuan yang bersifat mengabaikan, menggusur, dan bahkan mematisurikan nilai-nilai, norma-norma hukum rakyat (folk law), termasuk religi dan dan tradisi-tradisi masyarakat di daerah melalui dominasi dan penegakan hukum negara (state law) dalam corak sentralisme hukum (legal centralism).
Secara konvensional cita hukum (idea of law/rechtsidee) sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch adalah untuk menciptakan keadilan (gerechtmatigheid/justice), kemanfaatan (doelmatigheid/utilitity), dan kepastian hukum (rechtmatigheid/legal certainty). Sedangkan tujuan dari hukum adalah untuk menjaga keteraturan (social order) dan ketertiban sosial (legal order) dalam masyarakat, sehingga fungsi hukum lebih ditekankan sebagai instrumen pengawasan sosial (social control). Dalam masyarakat yang lebih kompleks, cita hukum dikembangkan sebagai alat untuk merekayasa kehidupan sosial (social engineering).
Oleh karena itu penulisan makalah ini dilakukan oleh penulis untuk mengkaji secara yuridis yang menyangkut judul tentang “ Potensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional “.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka kami mencobamemformulasikan beberapa rumusan masalah agar pembahasan menjadi terarah dan tidak meluas, yaitu:
1. Apakah cita hukum dapat ditingkatkan agar memainkan peran sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkokoh integrasi bangsa dalam masyarakat yang bercorak multikultural ?
2. Bagaimana potensi dan kedudukan hukum adat dalam politik pembangunan hukum di negeri ini ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis sesuai dengan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui cita hukum dapat ditingkatkan agar memainkan peran sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkokoh integrasi bangsa dalam masyarakat yang bercorak multikultural.
b. Untuk mengetahui potensi dan kedudukan hukum adat dalam politik pembangunan hukum di negeri ini.
2. Manfaat Penulisan
Sehubungan dengan tujuan di atas, maka diharapkan penulis makalah ini dapat bermanfaat antara lain:
a. Sebagai pengembangan pengetahuan dan wawasan pemikiran dalam mempelajari masyarakat multikultural.
b. Agar menjadi sebyah sumbangan pemikiran terhadap pemerintah untuk dapat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat adat demi pembangunan hukum di Indonesia.
c. Agar dapat digunakan oleh pihak-pihak lainnya sebagai referensi dari penulisan yang akan dilakukan selanjutnya.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara mengakui dan menghormati identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban (UUD’1945, Ps. 28 I ayat 3. Selanjutnya Negara dalam hal ini Pemerintah dan segenap komponen bangsa diamanahkan oleh UUD’1945 untuk menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya (UUD’1945, Ps.32 ayat 1).
Dalam rangka memenuhi amanah Undang-Undang Dasar ini beberapa hal yang berkaitan dengan penerapan dan penegakan hukum adat diatur pula dalam undang-undang organik, misalnya dalam Undang Undang no.32 Th.2004 tentang Pemerintahan Daerah pada Bab XI yang mengatur tentang desa dan pemerintahan desa, pada Ps. 203 (3) menegaskan bahwa “pemilihan Kepala Desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah”.
Menurut pendapat penulis, yang perlu mendapat pemahaman lebih mendalam adalah hal apa yang harus menjadi tolok ukur untuk dapat menyatakan apakah Hukum Adat, masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya diakui masih hidup atau tidak. Untuk menjawab persoalan ini , Moh. Koesnoe (Catetan-Catetan Terhadap Hukum Adat Dewasa ini,1979) dengan mensitir pendapat Djojodiguno mengatakan bahwa untuk dinyatakannya hukum adat sebagai hukum yang berlaku (hukum positif) tidaklah mesti harus dilihat dari adanya penerapan sanksi ,akan tetapi hukum adat telah cukup dinyatakan berlaku apabila ada pernyataan-pernyataan (menurut penulis termasuk ‘ungkapan –ungkapan simbolik bermakna’) yang diungkapkan sebagai pernyataan rasa keadilan dalam perhubungan pamrih, yang dinyatakan berlaku sebagai uger-ugeran.
Jadi hal ini memang berbeda dengan pendapat para ahli hukum adat yang lain (Vollenhoven, Ter Haar, Kusumadi Pujosewojo) yang menunjuk kepada sanksi yang harus dijatuhkan/diputus oleh Hakim atau penguasa adat sebagai ciri untuk menyatakan adat sebagai hukum (hukum adat). Lebih tegas lagi Koesnoe mengatakan bahwa pilihan untuk menetapkan hukum dengan penggunaan sanksi sebagai ciri pokoknya akan membawa kekecewaan didalam menentukan apa yang hukum didalam adat (Koesnoe,1979 :5 – 6).
Sejalan dengan pendapat Koesnoe, Haryono mengatakan bahwa dikenal beberapa ciri dari Hukum Adat dan salah satu ciri penting adalah asas-asas hukum adat dirumuskan dalam bentuk seloka, pribahasa (perumpamaan) ataupun cerita (Haryono, 1994 :48). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberadaan hukum adat dalam arti berlakunya dalam kehidupan masyarakat aturan-aturan yang bersifat ‘non-statutair’(Wignjodipoero,1992 : 16), adalah apabila dalam kehidupan sehari-hari benar-benar dirasakan sebagai norma-norma kehidupan (uger-ugeran) yang menjiwai dalam hubungan antar sesama sebagai pernyataan rasa keadilan terutama dalam hubungan pamrih, keberadaan sanksi lebih terkait dengan penegakannya. Sanksi dalam hal ini tidak seharusnya dalam bentuk konkrit (tegas) tetapi bisa juga dalam bentuk sanksi moral.
Indonesia dikenal sebagai negara yang bercorak multikultural, multi etnik, agama, ras, dan multi golongan. Sesanti Bhinneka Tunggal Ika secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan negara kesatuan republik Indonesia. Wilayah negara yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke, di satu sisi Indonesia memiliki sumber daya alam (natural resources) yang kaya dan melimpah bak untaian zamrud mutu manikam di bentang garis katulistiwa, dan di sisi lain juga berwujud sebagai sumber daya budaya (cultural resources) yang beragam coraknya (Koentjaraningrat, 1988; Hardjono, 1991).
Dari satu sisi, secara teoritis keragaman budaya (multikultural) merupakan konfigurasi budaya (cultural configuration) yang mencerminkan jatidiri bangsa, dan secara empirik menjadi unsur pembentuk negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Selain itu, kemajemukan budaya juga menjadi modal budaya (cultural capital) dan kekuatan budaya (cultural power) yang menggerakkan dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara (Dhari dan Suparman, 1999).
Namun demikian, dari sisi yang lain kemajemukan budaya juga menyimpan potensi konflik yang dapat mengancam integrasi bangsa, karena konflik antar budaya dalam wujud pertikaian antar etnik, antar penganut agama, ras maupun antar golongan bersifat sangat sensitif dan rentan terhadap suatu kondisi yang menjurus ke disintegrasi bangsa. Hal ini sangat mungkin terjadi apabila konflik tersebut tidak dikelola, dimaknai, dan diselesaikan secara santun, damai, dan bijaksana oleh pemerintah bersama seluruh komponen anak bangsa.
Secara antropologis, konflik merupakan fenomena sosial yang tak terpisahkan (inherent) dari kehidupan manusia, apalagi dalam masyarakat bercorak multikultural. Ia tidak mungkin dihindari atau diabaikan dalam kehidupan bersama. Yang harus dilakukan adalah bagaimana konflik itu dikelola, dikendalikan, diakomodasi, dan diselesaikan secara damai dan bijaksana agar tidak menimbulkan disintegrasi sosial dalam kehidupan masyarakat (Bohanan, 1967; Spradley & McCurdy, 1987).
Dalam kurun waktu tiga dasa warsa terakhir ini, kasus-kasus konflik yang bersumber dari potensi kemajemukan budaya cenderung semakin meningkat kualitas maupun kuantitasnya. Konflik-konflik dalam kehidupan masyarakat di Aceh, Abepura dan Timika (Papua), Ambon (Maluku), Ternate (Maluku Utara), Sampit-Sambas (Kalimantan Tengah), Pasuruan-Situbondo (Jawa Timur), DKI Jakarta, Mataram (NTB), Lampung, Poso (Sulawesi Tengah), Pontianak (Kalimantan Barat), dan lain-lain merupakan cerminan dari sensitifitas dari potensi keragaman budaya menimbulkan konflik dan pertikaian antar etnik, antar komunitas agama, dan/atau antar golongan yang terjadi di berbagai kawasan Indonesia.
Dari perspektif antropologi hukum, fenomena konflik muncul karena adanya konflik nilai (conflict of value), konflik norma (conflict of norm), dan/atau konflik kepentingan (conflict of interest) dari komunitas-komunitas etnik, agama, maupun golongan termasuk juga komunitas politik dalam masyarakat. Selain itu, dapat dicermati bahwa konflik-konflik yang terjadi dalam masyarakat juga bersumber dari persoalan diskriminasi pengaturan dan perlakuan pemerintah pusat terhadap komunitas-komunitas masyarakat di daerah, dengan menggunakan apa yang disebut Bodley (1982) sebagai the political of ignorance dalam bentuk perlakuan yang bersifat mengabaikan, menggusur, dan bahkan mematisurikan nilai-nilai, norma-norma hukum rakyat (folk law), termasuk religi dan dan tradisi-tradisi masyarakat di daerah melalui dominasi dan penegakan hukum negara (state law) dalam corak sentralisme hukum (legal centralism).
Secara konvensional cita hukum (idea of law/rechtsidee) sebagaimana dikemukakan Gustav Radbruch adalah untuk menciptakan keadilan (gerechtmatigheid/justice), kemanfaatan (doelmatigheid/utilitity), dan kepastian hukum (rechtmatigheid/legal certainty). Sedangkan tujuan dari hukum adalah untuk menjaga keteraturan (social order) dan ketertiban sosial (legal order) dalam masyarakat, sehingga fungsi hukum lebih ditekankan sebagai instrumen pengawasan sosial (social control). Dalam masyarakat yang lebih kompleks, cita hukum dikembangkan sebagai alat untuk merekayasa kehidupan sosial (social engineering).
Oleh karena itu penulisan makalah ini dilakukan oleh penulis untuk mengkaji secara yuridis yang menyangkut judul tentang “ Potensi dan Kedudukan Hukum Adat dalam Politik Pembangunan Hukum Nasional “.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka kami mencobamemformulasikan beberapa rumusan masalah agar pembahasan menjadi terarah dan tidak meluas, yaitu:
1. Apakah cita hukum dapat ditingkatkan agar memainkan peran sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkokoh integrasi bangsa dalam masyarakat yang bercorak multikultural ?
2. Bagaimana potensi dan kedudukan hukum adat dalam politik pembangunan hukum di negeri ini ?
C. Tujuan dan Manfaat
1. Tujuan Penulisan
Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis sesuai dengan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui cita hukum dapat ditingkatkan agar memainkan peran sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkokoh integrasi bangsa dalam masyarakat yang bercorak multikultural.
b. Untuk mengetahui potensi dan kedudukan hukum adat dalam politik pembangunan hukum di negeri ini.
2. Manfaat Penulisan
Sehubungan dengan tujuan di atas, maka diharapkan penulis makalah ini dapat bermanfaat antara lain:
a. Sebagai pengembangan pengetahuan dan wawasan pemikiran dalam mempelajari masyarakat multikultural.
b. Agar menjadi sebyah sumbangan pemikiran terhadap pemerintah untuk dapat memberikan kepastian hukum terhadap masyarakat adat demi pembangunan hukum di Indonesia.
c. Agar dapat digunakan oleh pihak-pihak lainnya sebagai referensi dari penulisan yang akan dilakukan selanjutnya.
Minggu, 11 April 2010
malakah hak paten
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, teknologi mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Negara yang menguasai dunia adalah negara yang menguasai teknologi. Amerika serikat, Jerman, Perancis, Rusia dan Cina merupakan contoh negara yang sangat maju dalam bidang teknologi sehingga mereka mampu memberi pengaruh bagi negara lain. Negara-negara tersebut melindungi teknologi mereka secara ketat. Jadi jika ada seorang mahasiswa asing yang belajar dalam bidang teknologi di negara-negara tersebut, maka dosen tidak menularkan seluruh ilmunya kepada si mahasiswa tersebut. Karena itu, Indonesia perlu merangsang warga negaranya untuk mengembangkan teknologi dengan mengembangkan sistem perlindungan terhadap karya intelektual di bidang teknologi yang berupa pemberian hak paten.
Hak paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu. Seorang inventor dapat melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Invensi merupakan ide dari inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi yang dapat berupa produk/proses atau penyempurnaan dan pengembangan dari produk/proses. Sedangkan inventor adalah orang baik secara sendiri maupun bersama dengan orang lain melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.
Syarat mendapatkan hak paten ada tiga yaitu penemuan tersebut merupakan penemuan baru. Yang kedua, penemuan tersebut diproduksi dalam skala massal atau industrial. Suatu penemuan teknologi, secanggih apapun, tetapi tidak dapat diproduksi dalam skala industri (karena harganya sangat mahal / tidak ekonomis), maka tidak berhak atas paten. Yang ketiga, penemuan tersebut merupakan penemuan yang tidak terduga sebelumnya (non obvious). Jadi bila sekedar menggabungkan dua benda tidak dapat dipatenkan. Misalnya pensil dan penghapus menjadi pensil dengan penghapus diatasnya. Hal ini tidak bisa dipatenkan.
Hak paten diatur dalam Undang Undang No 14 Tahun 2001 tentang paten. Dalam undang-undang ini diatur mengenai syarat paten, jangka waktu berlakunya paten, hak dan kewajiban inventor sebagai penemu invensi, tata cara permohonan hak paten, pegumuman dan pemeriksaan substansif dan lain-lain. Dengan adanya undang-undang ini maka diharapkan akan ada perlindungan terhadap kerya intelektual dari putra dan putri indonesia.
Oleh karena itu penulisan makalah ini dilakukan oleh para penulis untuk mengkaji lebih mendalam secara yuridis tentang hak paten dengan mengangkat judul “Tinjauan Yuridis Mengenai Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka para penulis mencoba memformulasikan beberapa rumusan masalah agar pembahasan menjadi terarah dan tidak meluas, yaitu:
1. Definisi hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
2. Tata cara memperoleh hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
3. Penyelesaian sengketa dalam hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh para penulis sesuai dengan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Definisi hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Tata cara memperoleh hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
3. Untuk mengetahui Penyelesaian sengketa dalam hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1)
Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut, adalah):
Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 3)
Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.
Saat ini terdapat beberapa perjanjian internasional yang mengatur tentang hukum paten. Antara lain, WTO Perjanjian TRIPs yang diikuti hampir semua negara. Pemberian hak paten bersifat teritorial, yaitu, mengikat hanya dalam lokasi tertentu. Dengan demikian, untuk mendapatkan perlindungan paten di beberapa negara atau wilayah, seseorang harus mengajukan aplikasi paten di masing-masing negara atau wilayah tersebut. Untuk wilayah Eropa, seseorang dapat mengajukan satu aplikasi paten ke Kantor Paten Eropa, yang jika sukses, sang pengaju aplikasi akan mendapatkan multiple paten (hingga 36 paten, masing-masing untuk setiap negara di Eropa), bukannya satu paten yang berlaku di seluruh wilayah Eropa.
Secara umum, ada tiga kategori besar mengenai subjek yang dapat dipatenkan: proses, mesin, dan barang yang diproduksi dan digunakan. Proses mencakup algoritma, metode bisnis, sebagian besar perangkat lunak (software), teknik medis, teknik olahraga dan semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus. Barang yang diproduksi mencakup perangkat mekanik, perangkat elektronik dan komposisi materi seperti kimia, obat-obatan, DNA, RNA, dan sebagainya.
Kebenaran matematika, termasuk yang tidak dapat dipatenkan. Software yang menerapkan algoritma juga tidak dapat dipatenkan kecuali terdapat aplikasi praktis (di Amerika Serikat) atau efek teknikalnya (di Eropa).
Saat ini, masalah paten perangkat lunak (dan juga metode bisnis) masih merupakan subjek yang sangat kontroversial. Amerika Serikat dalam beberapa kasus hukum di sana, mengijinkan paten untuk software dan metode bisnis, sementara di Eropa, software dianggap tidak bisa dipatenkan, meski beberapa invensi yang menggunakan software masih tetap dapat dipatenkan.
Paten yang berhubungan dengan zat alamiah (misalnya zat yang ditemukan di hutan rimba) dan juga obat-obatan, teknik penanganan medis dan juga sekuens genetik, termasuk juga subjek yang kontroversial. Di berbagai negara, terdapat perbedaan dalam menangani subjek yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, di Amerika Serikat, metode bedah dapat dipatenkan, namun hak paten ini tidak dapat dipraktekkan.
Di Indonesia, syarat hasil temuan yang akan dipatenkan adalah baru (belum pernah diungkapkan sebelumnya), mengandung langkah inventif (tidak dapat diduga sebelumnya), dan dapat diterapkan dalam industri. Jangka waktu perlindungan untuk paten ‘biasa’ adalah 20 tahun, sementara paten sederhana adalah 10 tahun. Paten tidak dapat diperpanjang. Untuk memastikan teknologi yang diteliti belum dipatenkan oleh pihak lain dan layak dipatenkan, dapat dilakukan penelusuran dokumen paten. Ada beberapa kasus khusus penemuan yang tidak diperkenankan mendapat perlindungan paten, yaitu proses / produk yang pelaksanaannya bertentangan dengan undang-undang, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan; metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; serta teori dan metode di bidang matematika dan ilmu pengetahuan, yakni semua makhluk hidup, kecuali jasad renik, dan proses biologis penting untuk produksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikro-biologis.
Pemegang Paten adalah inventor sebagai pemilik paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam daftar umum paten.
1. Pemegang paten memiliki hak ekslusif untuk melaksanakan paten yang dimiliknya, dan melarang orang lain yang tanpa persetujuannnya;
a. Dalam hal paten produk; membut, menjual, mengimport, menyewa, menyerahkan memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yng diberi paten.
b. Dalam hal paten proses : menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a.
2. Pemegang paten berhak memberikan lisensi kepada orang lain berdasarkan perjanjian lisensi.
3. Pemegang paten berhak menggugat ganti rugi melalui Pengadilan Negeri setempat, kepada siapapun, yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 diatas.
4. Pemegang paten berhak menuntut orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 diatas.
Menurut Undang-undang Pasal 24 Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, permohonan paten dapat diajukan dengan cara sebagai berikut :
1. mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada DJHKI dengan menggunakan formulir permohonan paten yang memuat :
a. tanggal, bulan, dan tahun permohonan ;
b. alamat lengkap dan kewarganegaraan inventor
c. nama lengkap dan alamat kuasa (apabila diajukan melalui kuasa)
d. pernyataan permohonan untuk diberi paten
e. judul invensi
f. klaim yang terkandung didalam invensi
g. deskripsi tentang invensi,
h. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk diperjelas invensi;
i. abstrak invensi;
2. membayar biaya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2001 tentang perubahan kedua atas PP No.26 tahun 1999 tentang tarif atas jenis penerimaan Negara bukan pajak.
Menurut Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, hak Paten dapat dialihkan melalui :
a. pewarisan ;
b. hibah;
c. perjanjian tertulis
d. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Untuk pertama kalinya Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No. 97 Tahun 1999 dibentuk 4 (empat) Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Ujung Pandang (Makasar), Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Surabaya. Khusus wilayah hukum Pengadilan Niaga Medan meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Propinsi Nangro Aceh Darusallam.
Pengadilan Niaga adalah suatu Pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum, yang dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa dan memutus serta menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang perniagaan.
Pembentukan Pengadilan Niaga mula – mula hanya memeriksa dan mengadili perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan kewenangan terhadap perkara perniagaan akan lainnya akan ditentukan dengan peraturan perundang – undangan. Perkara – perkara tersebut antara lain adalah perkara – perkara dibidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Penyelesaian sengketa hak paten melalui Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 117 Undang – Undang paten yang mana pihak yang berhak atau yang menjadi subjek paten (diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12) dapat menggugat kepada pengadilan niaga jika suatu paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak.
Pengadilan Niaga dalam Undang-undang paten diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Niaga, diharapkan ketentuan yang abstrak didalam peraturan perundang – undangan akan menjadi konkret dan efektif. Dalam rangka memaksimalkan penegakan hukumnya, Undang – Undang mengatur hal – hal sebagai berikut :
- Pengadilan Khusus.
- Penetapan Sementara.
- Hukum Acara Khusus.
- Upaya Hukum Kasasi.
- Ganti Rugi.
Di atas telah disinggung, Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan Khusus yang berada di dalam lingkungan peradilan umum. Sebagai peradilan khusus dilengkapi dengan organ berupa Hakim yang bersertifikasi dan di didik secara khusus, ia berasal dari Hakim – Hakim Pengadilan Negeri yang berpengalaman, dan Hakim Ad-Hoc yang berasal dari para pakar dan profesional dibidang perkara perniagaan. Hakim – Hakim sebagai pejabat yang bertugas dan berwenang menerapkan ketentuan hak paten sebagaimana diatur dalam Undang – Undang.
Seperti halnya badan peradilan lainnya, Pengadilan Niaga juga diberi mandat menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, suatu kekuasaan yang mandiri yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan peradilan secara jujur dan adil. Tugasnya adalah menerima, memeriksa, mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (termasuk didalamnya perkara – perkara dibidang paten).
Sebagai Hakim Niaga yang memeriksa sengketa paten harus memahami kasus dan kriteria perlindungannya, yakni :
1. Apakah termasuk objek yang dilindungi.
2. Apakah termasuk kriteria yang dikecualikan dari perlindungan.
3. Apakah memenuhi persyaratan yang dilindungi.
4. Apakah terdaftar di negara tujuan dimana perlindungan diharapkan.
5. Sedangkan penyebab perselisihan dalam sengketa hak paten lazimnya adalah :
- Ketidak jelasan status kepemilikan.
- Penggunaan hak paten tanpa seizin pemilik.
- Tidak dipenuhinya perjanjian lisensi hak paten.
Dengan sarana Pengadilan Niaga yang dipandang memahami kriteria sengketa paten diharapkan keadilan benar – benar tercapai dan memuaskan. Idealnya setiap putusan Hakim mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu :
1. Unsur kepastian hukum.
2. Unsur kemanfaatan.
3. Unsur keadilan.
Untuk memaksimalkan terwujudnya nilai – nilai kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, maka Hakim dalam menjatuhkan keputusan seyogyanya menguasai seluk beluk metode penerapan hukum seperti metode penafsiran, konstruksi, penghalusan hukum dan sebagainya. Sehubungan dengan tugas Hakim dalam pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman, Retnowulan Sutantio menyatakan otonomi kebebasan mencakup hal – hal sebagai berikut :
1. menafsirkan peraturan perundang – undangan.
2. mencari dan menemukan azas – azas dan dasar hukum.
3. mencipta hukum baru apabila menghadapi kekosongan peraturan perundang – undangan.
4. dibenarkan pula melakukan contra legem, apabila ketentuan peraturan perundang – undangan bertentangan dengan kepentingan umum, dan
5. mengikuti otonomi yang bebas untuk mengikuti yurisprudensi.
Sebelum suatu perkara hak paten masuk ke Pengadilan dan didaftarkan, maka atas permintaan pihak yang merasa dirugikan, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan sementara untuk upaya perlindungan terhadap pemilik hak paten untuk mencegah kerugian yang lebih besar dalam hal ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak lain terhadap hak paten miliknya. Diatur dalam Pasal 125 Undang-Undang Tentang Paten.
Sebagaimana diketahui, hak paten merupakan sistem hukum yang masih sangat muda di Indonesia baik dari sisi regulasi maupun implementasinya. Sistem hak paten berkembang di negara – negara industri maju dan menjadi sistem yang bersifat global dan terharmonisasi.
Demikian halnya dengan penetapan sementara merupakan hal baru di Indonesia, sehingga perlu belajar dari praktik – praktik yang sudah matang teruji diberbagai negara maju. Pengadilan di negara – negara maju mengenal beberapa jenis putusan / penetapan seperti Anton Pillar Order, Mareeva Injuction dan Interlocutory. Anton Pillar Order : adalah putusan yang memberikan kewenangan kepada Penggugat untuk melakukan inspeksi ke tempat lokasi Tergugat dimana pelanggaran dilakukan / barang – barang hasil pelanggaran disimpan. Mareeva Injuction : adalah putusan yang memberikan kewenangan kepada Penggugat untuk meretensi aset – aset yang diperlukan untuk pemeriksaan perkara. Interlocutory : adalah putusan – putusan sela yang terkait dengan perintah Pengadilan kepada pihak yang berperkara untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan selama proses perkara HKI dipersengketakan masih berlangsung.
Undang – Undang Hak Paten merupakan ketentuan yang abstrak yang sesungguhnya merupakan “rencana sesuatu tata hukum yang dikehendaki”. Peraturan tersebut menjadi in concreto manakala diterapkan dalam suatu peristiwa hukum tertentu dalam putusan Hakim.
Putusan Hakim akan bergantung kepada pembuktian para pihak yang hukum acaranya diatur dalam hukum acara perdata ditambah beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam peraturannya.
Di dalam hukum acara perdata dianut prinsip “actori incumbit probatio” siapa yang mengaku mempunyai hak harus dibebani dengan beban pembuktian. Selain itu terdapat azas hukum : equal justice under law, suatu perlakuan yang sama terhadap para pihak, yang bermakna siapa yang lemah pembuktiannya harus dikalahkan.
Dalam rangka membuktikan dan mendukung dalil gugatannya para pihak dapat mengajukan alat – alat bukti seperti :
1. Surat – surat;
2. Saksi – saksi;
3. Persangkaan;
4. Pengakuan; dan
5. Sumpah; (periksa Pasal 164 HIR dan Pasal 284 Rbg.)
Membuktikan berarti memberikan kepastian secara yuridis, dengan sarana alat bukti, menetapkan secara pasti apa yang terjadi secara konkret dengan jalan mempertimbangkan atau memberikan alasan – alasan logis, sehingga sampai pada kesimpulan peristiwa – peristiwa tertentu dinyatakan benar atau dinyatakan tidak benar. Pada gilirannya para pihak dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses pengambilan keputusan dan alasan – alasan yang menjadi dasar pengambilan putusan tersebut. Putusan yang baik mengandung pertimbangan yang lengkap, akurat dan jelas.
Hukum acara khusus juga terkristal dalam kekhususan prosedur bagi penyelesaian sengketa dibidang hak paten di Pengadilan Niaga yaitu adanya tenggang waktu yang ketat:
1. Penyampaian gugatan kepada Ketua Pengadilan.
2. Mempelajari berkas gugatan dan menetapkan hari sidangnya.
3. Pemanggilan para pihak untuk bersidang.
4. Pemeriksaan di persidangan.
5. Putusan harus diucapkan paling lama dalam 90 hari setelah pendaftaran gugatan.
6. Penyampaian putusan kepada para pihak.
Putusan Pengadilan Niaga dalam sengketa hak paten terbuka upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Kekhususan ditingkat Kasasi sebagai berikut :
1. Tenggang waktu pengajuan Kasasi : paling lambat 14 hari.
2. Tenggang waktu penyampaian Memori Kasasi : paling lambat 7 hari sejak tanggal permohonan.
3. Pengiriman Memori Kasasi kepada pihak Termohon Kasasi : paling lambat 2 hari setelah diterima Memori Kasasi.
4. Pengajuan Kontra Memori Kasasi paling lambat 7 hari setelah penerimaan Memori Kasasi. Pengiriman Kontra Memori Kasasi kepada pihak lawan (Pemohon Kasasi) paling lambat 2 hari.
5. Pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung paling lambat 14 hari setelah pengiriman Kontra Memori Kasasi tersebut di atas.
6. Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara Kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 7 hari setelah permohonan Kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
7. Putusan Kasasi harus diucapkan paling lambat 90 hari setelah permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
8. Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan Niaga paling lambat 7 hari setelah putusan Kasasi diucapkan.
9. Juru sita Pengadilan Niaga menyampaikan salinan putusan Kasasi kepada Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi paling lambat 7 hari setelah putusan Kasasi diterima oleh Panitera Pengadilan Niaga.
Hak paten merupakan karya intelektual dari manusia. Yang mana karya intelektual adalah aset yang mengandung nilai ekonomis. Kepada pemiliknya diberikan hak monopoli / eksklusif untuk mengontrol penggunaan karya intelektual yang dilindungi. Pemegang Hak Kekayaan Intelektual akan memperoleh imbalan keuangan atas infestasinya dalam menghasilkan karya intelektual. Tuntutan ganti rugi Hak paten yang dalam Undang – Undang mengatur ganti rugi antara lain Pasal 118 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Perkara Paten Sederhana, Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 37/Paten/2003/PN. Niaga Jkt.Pst. tanggal 09 Oktober 2003 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 046 K/HaKi/2003 tanggal 09 Februari 2004, antara lain mempertimbangkan sebagai berikut :
“Walaupun produk Penggugat dan Tergugat terdapat perbedaan “tali air” akan tetapi perbedaan tersebut dapat dikualifisir sebagai melanggar paten dasar dan atau melanggar semua modifikasi yang tercakup dalam klaim paten No. 10. 0. 000.116. S tanggal 31 Mei 1996 milik Penggugat”.
1. Putusan Mahkamah Agung RI.
“Secara fungsi kedua genteng logam / metal tersebut adalah sama. Sehingga secara yuridis model genteng logam milik Tergugat hanya merupakan modifikasi yang masih didalam lingkup penemuan sebagaimana dimaksud dalam Surat Paten Sederhana milik Penggugat”.
2. Putusan Pembatalan Hak Paten
Putusan Mahkamah Agung RI No. 11 K/N/HaKi/2002 tanggal 30 September 2002 memutus sebagai berikut :
“Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk menghentikan, membuat, menggunakan, menjual atau menyediakan untuk dijual barang – barang hasil pelanggaran Paten miliknya Penggugat Rekonpensi (Tergugat I Konpensi)”.
Putusan Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali) No. 02 PK/N/ HaKi/2003 tanggal 13 Mei 2003.
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 91 ayat (3) UU No.14 Tahun 2001, Subjek Hukum yang berhak mengajukan tuntutan pembatalan Paten agar Paten lain yang sama dengan Patennya dibatalkan oleh Hakim, adalah subjek hukum pemegang hak Paten, yang hak Patennya sudah terdaftar sah pada Direktorat Paten Departemen Kehakiman RI”.
“Oleh karena Penggugat Konpensi terbukti bukan pemegang hak Paten, maka tuntutannya harus ditolak oleh judex facti”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah para penulis lakukan, maka para penulis menyimpulkan:
1. Hak paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu. Seorang inventor dapat melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Invensi merupakan ide dari inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi yang dapat berupa produk/proses atau penyempurnaan dan pengembangan dari produk/proses. Sedangkan inventor adalah orang baik secara sendiri maupun bersama dengan orang lain melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Secara umum, ada tiga kategori besar mengenai subjek yang dapat dipatenkan: proses, mesin, dan barang yang diproduksi dan digunakan. Proses mencakup algoritma, metode bisnis, sebagian besar perangkat lunak (software), teknik medis, teknik olahraga dan semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus. Barang yang diproduksi mencakup perangkat mekanik, perangkat elektronik dan komposisi materi seperti kimia, obat-obatan, DNA, RNA, dan sebagainya.
2. Menurut Undang-undang Pasal 24 Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, permohonan paten dapat diajukan dengan cara sebagai berikut :
(1) mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada DJHKI dengan menggunakan formulir permohonan paten yang memuat :
a. tanggal, bulan, dan tahun permohonan ;
b. alamat lengkap dan kewarganegaraan inventor
c. nama lengkap dan alamat kuasa (apabila diajukan melalui kuasa)
d. pernyataan permohonan untuk diberi paten
e. judul invensi
f. klaim yang terkandung didalam invensi
g. deskripsi tentang invensi,
h. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk diperjelas invensi;
i. abstrak invensi;
(2) membayar biaya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2001 tentang perubahan kedua atas PP No.26 tahun 1999 tentang tarif atas jenis penerimaan Negara bukan pajak.
3. Penyelesaian sengketa hak paten melalui Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 117 Undang – Undang paten yang mana pihak yang berhak atau yang menjadi subjek paten (diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12) dapat menggugat kepada pengadilan niaga jika suatu paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak.
B. Saran
Dari ulasan-ulasan yang telah dikemukakan dimuka, maka para penulis memberikan saran:
1. Undang – Undang dibidang paten mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan merupakan bentuk yuridis campur tangan negara dalam perlindungan hukum baik secara nasional maupun internasional. Jadi hakim sebagai organ Pengadilan dituntut untuk mewujudkan perlindungan hukum, keadilan dan kebenaran dalam penegakan hukum dibidang hak paten.
2. Pemerintah harus lebih melakukan pengawasan dan memperhatikan mengenai hak paten lebih serius lagi karena banyak terjadi penjiplakan terhadap karya intelektual orang lain yang telah dipatenkan dan sangat merugikan bagi pemilik hak paten.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini, teknologi mempunyai peran yang sangat signifikan dalam kehidupan sehari-hari. Negara yang menguasai dunia adalah negara yang menguasai teknologi. Amerika serikat, Jerman, Perancis, Rusia dan Cina merupakan contoh negara yang sangat maju dalam bidang teknologi sehingga mereka mampu memberi pengaruh bagi negara lain. Negara-negara tersebut melindungi teknologi mereka secara ketat. Jadi jika ada seorang mahasiswa asing yang belajar dalam bidang teknologi di negara-negara tersebut, maka dosen tidak menularkan seluruh ilmunya kepada si mahasiswa tersebut. Karena itu, Indonesia perlu merangsang warga negaranya untuk mengembangkan teknologi dengan mengembangkan sistem perlindungan terhadap karya intelektual di bidang teknologi yang berupa pemberian hak paten.
Hak paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu. Seorang inventor dapat melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Invensi merupakan ide dari inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi yang dapat berupa produk/proses atau penyempurnaan dan pengembangan dari produk/proses. Sedangkan inventor adalah orang baik secara sendiri maupun bersama dengan orang lain melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi.
Syarat mendapatkan hak paten ada tiga yaitu penemuan tersebut merupakan penemuan baru. Yang kedua, penemuan tersebut diproduksi dalam skala massal atau industrial. Suatu penemuan teknologi, secanggih apapun, tetapi tidak dapat diproduksi dalam skala industri (karena harganya sangat mahal / tidak ekonomis), maka tidak berhak atas paten. Yang ketiga, penemuan tersebut merupakan penemuan yang tidak terduga sebelumnya (non obvious). Jadi bila sekedar menggabungkan dua benda tidak dapat dipatenkan. Misalnya pensil dan penghapus menjadi pensil dengan penghapus diatasnya. Hal ini tidak bisa dipatenkan.
Hak paten diatur dalam Undang Undang No 14 Tahun 2001 tentang paten. Dalam undang-undang ini diatur mengenai syarat paten, jangka waktu berlakunya paten, hak dan kewajiban inventor sebagai penemu invensi, tata cara permohonan hak paten, pegumuman dan pemeriksaan substansif dan lain-lain. Dengan adanya undang-undang ini maka diharapkan akan ada perlindungan terhadap kerya intelektual dari putra dan putri indonesia.
Oleh karena itu penulisan makalah ini dilakukan oleh para penulis untuk mengkaji lebih mendalam secara yuridis tentang hak paten dengan mengangkat judul “Tinjauan Yuridis Mengenai Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka para penulis mencoba memformulasikan beberapa rumusan masalah agar pembahasan menjadi terarah dan tidak meluas, yaitu:
1. Definisi hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
2. Tata cara memperoleh hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
3. Penyelesaian sengketa dalam hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh para penulis sesuai dengan penulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Definisi hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
2. Untuk mengetahui Tata cara memperoleh hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
3. Untuk mengetahui Penyelesaian sengketa dalam hak paten menurut Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut undang-undang nomor 14 tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 1)
Sementara itu, arti Invensi dan Inventor (yang terdapat dalam pengertian di atas, juga menurut undang-undang tersebut, adalah):
Invensi adalah ide Inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi dapat berupa produk atau proses, atau penyempurnaan dan pengembangan produk atau proses. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 2)
Inventor adalah seorang yang secara sendiri atau beberapa orang yang secara bersama-sama melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan Invensi. (UU 14 tahun 2001, ps. 1, ay. 3)
Kata paten, berasal dari bahasa inggris patent, yang awalnya berasal dari kata patere yang berarti membuka diri (untuk pemeriksaan publik), dan juga berasal dari istilah letters patent, yaitu surat keputusan yang dikeluarkan kerajaan yang memberikan hak eksklusif kepada individu dan pelaku bisnis tertentu. Dari definisi kata paten itu sendiri, konsep paten mendorong inventor untuk membuka pengetahuan demi kemajuan masyarakat dan sebagai gantinya, inventor mendapat hak eksklusif selama periode tertentu. Mengingat pemberian paten tidak mengatur siapa yang harus melakukan invensi yang dipatenkan, sistem paten tidak dianggap sebagai hak monopoli.
Saat ini terdapat beberapa perjanjian internasional yang mengatur tentang hukum paten. Antara lain, WTO Perjanjian TRIPs yang diikuti hampir semua negara. Pemberian hak paten bersifat teritorial, yaitu, mengikat hanya dalam lokasi tertentu. Dengan demikian, untuk mendapatkan perlindungan paten di beberapa negara atau wilayah, seseorang harus mengajukan aplikasi paten di masing-masing negara atau wilayah tersebut. Untuk wilayah Eropa, seseorang dapat mengajukan satu aplikasi paten ke Kantor Paten Eropa, yang jika sukses, sang pengaju aplikasi akan mendapatkan multiple paten (hingga 36 paten, masing-masing untuk setiap negara di Eropa), bukannya satu paten yang berlaku di seluruh wilayah Eropa.
Secara umum, ada tiga kategori besar mengenai subjek yang dapat dipatenkan: proses, mesin, dan barang yang diproduksi dan digunakan. Proses mencakup algoritma, metode bisnis, sebagian besar perangkat lunak (software), teknik medis, teknik olahraga dan semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus. Barang yang diproduksi mencakup perangkat mekanik, perangkat elektronik dan komposisi materi seperti kimia, obat-obatan, DNA, RNA, dan sebagainya.
Kebenaran matematika, termasuk yang tidak dapat dipatenkan. Software yang menerapkan algoritma juga tidak dapat dipatenkan kecuali terdapat aplikasi praktis (di Amerika Serikat) atau efek teknikalnya (di Eropa).
Saat ini, masalah paten perangkat lunak (dan juga metode bisnis) masih merupakan subjek yang sangat kontroversial. Amerika Serikat dalam beberapa kasus hukum di sana, mengijinkan paten untuk software dan metode bisnis, sementara di Eropa, software dianggap tidak bisa dipatenkan, meski beberapa invensi yang menggunakan software masih tetap dapat dipatenkan.
Paten yang berhubungan dengan zat alamiah (misalnya zat yang ditemukan di hutan rimba) dan juga obat-obatan, teknik penanganan medis dan juga sekuens genetik, termasuk juga subjek yang kontroversial. Di berbagai negara, terdapat perbedaan dalam menangani subjek yang berkaitan dengan hal ini. Misalnya, di Amerika Serikat, metode bedah dapat dipatenkan, namun hak paten ini tidak dapat dipraktekkan.
Di Indonesia, syarat hasil temuan yang akan dipatenkan adalah baru (belum pernah diungkapkan sebelumnya), mengandung langkah inventif (tidak dapat diduga sebelumnya), dan dapat diterapkan dalam industri. Jangka waktu perlindungan untuk paten ‘biasa’ adalah 20 tahun, sementara paten sederhana adalah 10 tahun. Paten tidak dapat diperpanjang. Untuk memastikan teknologi yang diteliti belum dipatenkan oleh pihak lain dan layak dipatenkan, dapat dilakukan penelusuran dokumen paten. Ada beberapa kasus khusus penemuan yang tidak diperkenankan mendapat perlindungan paten, yaitu proses / produk yang pelaksanaannya bertentangan dengan undang-undang, moralitas agama, ketertiban umum atau kesusilaan; metode pemeriksaan, perawatan, pengobatan dan/atau pembedahan yang diterapkan terhadap manusia dan/atau hewan; serta teori dan metode di bidang matematika dan ilmu pengetahuan, yakni semua makhluk hidup, kecuali jasad renik, dan proses biologis penting untuk produksi tanaman atau hewan, kecuali proses non-biologis atau proses mikro-biologis.
Pemegang Paten adalah inventor sebagai pemilik paten atau pihak yang menerima hak tersebut dari pemilik paten atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak tersebut, yang terdaftar dalam daftar umum paten.
1. Pemegang paten memiliki hak ekslusif untuk melaksanakan paten yang dimiliknya, dan melarang orang lain yang tanpa persetujuannnya;
a. Dalam hal paten produk; membut, menjual, mengimport, menyewa, menyerahkan memakai, menyediakan untuk dijual atau disewakan atau diserahkan produk yng diberi paten.
b. Dalam hal paten proses : menggunakan proses produksi yang diberi paten untuk membuat barang dan tindakan lainnya sebagaimana yang dimaksud dalam huruf a.
2. Pemegang paten berhak memberikan lisensi kepada orang lain berdasarkan perjanjian lisensi.
3. Pemegang paten berhak menggugat ganti rugi melalui Pengadilan Negeri setempat, kepada siapapun, yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 diatas.
4. Pemegang paten berhak menuntut orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melanggar hak pemegang paten dengan melakukan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 diatas.
Menurut Undang-undang Pasal 24 Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, permohonan paten dapat diajukan dengan cara sebagai berikut :
1. mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada DJHKI dengan menggunakan formulir permohonan paten yang memuat :
a. tanggal, bulan, dan tahun permohonan ;
b. alamat lengkap dan kewarganegaraan inventor
c. nama lengkap dan alamat kuasa (apabila diajukan melalui kuasa)
d. pernyataan permohonan untuk diberi paten
e. judul invensi
f. klaim yang terkandung didalam invensi
g. deskripsi tentang invensi,
h. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk diperjelas invensi;
i. abstrak invensi;
2. membayar biaya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2001 tentang perubahan kedua atas PP No.26 tahun 1999 tentang tarif atas jenis penerimaan Negara bukan pajak.
Menurut Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, hak Paten dapat dialihkan melalui :
a. pewarisan ;
b. hibah;
c. perjanjian tertulis
d. sebab-sebab lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan.
Untuk pertama kalinya Pengadilan Niaga dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden R.I. No. 97 Tahun 1999 dibentuk 4 (empat) Pengadilan Niaga, yaitu Pengadilan Niaga Medan, Pengadilan Niaga Ujung Pandang (Makasar), Pengadilan Niaga Semarang, dan Pengadilan Niaga Surabaya. Khusus wilayah hukum Pengadilan Niaga Medan meliputi wilayah Propinsi Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi dan Propinsi Nangro Aceh Darusallam.
Pengadilan Niaga adalah suatu Pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan umum, yang dibentuk dan bertugas menerima, memeriksa dan memutus serta menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang serta perkara lain dibidang perniagaan.
Pembentukan Pengadilan Niaga mula – mula hanya memeriksa dan mengadili perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Sedangkan kewenangan terhadap perkara perniagaan akan lainnya akan ditentukan dengan peraturan perundang – undangan. Perkara – perkara tersebut antara lain adalah perkara – perkara dibidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
Penyelesaian sengketa hak paten melalui Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 117 Undang – Undang paten yang mana pihak yang berhak atau yang menjadi subjek paten (diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12) dapat menggugat kepada pengadilan niaga jika suatu paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak.
Pengadilan Niaga dalam Undang-undang paten diberi kewenangan untuk menyelesaikan sengketa melalui Pengadilan Niaga, diharapkan ketentuan yang abstrak didalam peraturan perundang – undangan akan menjadi konkret dan efektif. Dalam rangka memaksimalkan penegakan hukumnya, Undang – Undang mengatur hal – hal sebagai berikut :
- Pengadilan Khusus.
- Penetapan Sementara.
- Hukum Acara Khusus.
- Upaya Hukum Kasasi.
- Ganti Rugi.
Di atas telah disinggung, Pengadilan Niaga sebagai Pengadilan Khusus yang berada di dalam lingkungan peradilan umum. Sebagai peradilan khusus dilengkapi dengan organ berupa Hakim yang bersertifikasi dan di didik secara khusus, ia berasal dari Hakim – Hakim Pengadilan Negeri yang berpengalaman, dan Hakim Ad-Hoc yang berasal dari para pakar dan profesional dibidang perkara perniagaan. Hakim – Hakim sebagai pejabat yang bertugas dan berwenang menerapkan ketentuan hak paten sebagaimana diatur dalam Undang – Undang.
Seperti halnya badan peradilan lainnya, Pengadilan Niaga juga diberi mandat menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, suatu kekuasaan yang mandiri yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan peradilan secara jujur dan adil. Tugasnya adalah menerima, memeriksa, mengadili setiap perkara yang diajukan kepadanya (termasuk didalamnya perkara – perkara dibidang paten).
Sebagai Hakim Niaga yang memeriksa sengketa paten harus memahami kasus dan kriteria perlindungannya, yakni :
1. Apakah termasuk objek yang dilindungi.
2. Apakah termasuk kriteria yang dikecualikan dari perlindungan.
3. Apakah memenuhi persyaratan yang dilindungi.
4. Apakah terdaftar di negara tujuan dimana perlindungan diharapkan.
5. Sedangkan penyebab perselisihan dalam sengketa hak paten lazimnya adalah :
- Ketidak jelasan status kepemilikan.
- Penggunaan hak paten tanpa seizin pemilik.
- Tidak dipenuhinya perjanjian lisensi hak paten.
Dengan sarana Pengadilan Niaga yang dipandang memahami kriteria sengketa paten diharapkan keadilan benar – benar tercapai dan memuaskan. Idealnya setiap putusan Hakim mengandung 3 (tiga) unsur, yaitu :
1. Unsur kepastian hukum.
2. Unsur kemanfaatan.
3. Unsur keadilan.
Untuk memaksimalkan terwujudnya nilai – nilai kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan, maka Hakim dalam menjatuhkan keputusan seyogyanya menguasai seluk beluk metode penerapan hukum seperti metode penafsiran, konstruksi, penghalusan hukum dan sebagainya. Sehubungan dengan tugas Hakim dalam pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman, Retnowulan Sutantio menyatakan otonomi kebebasan mencakup hal – hal sebagai berikut :
1. menafsirkan peraturan perundang – undangan.
2. mencari dan menemukan azas – azas dan dasar hukum.
3. mencipta hukum baru apabila menghadapi kekosongan peraturan perundang – undangan.
4. dibenarkan pula melakukan contra legem, apabila ketentuan peraturan perundang – undangan bertentangan dengan kepentingan umum, dan
5. mengikuti otonomi yang bebas untuk mengikuti yurisprudensi.
Sebelum suatu perkara hak paten masuk ke Pengadilan dan didaftarkan, maka atas permintaan pihak yang merasa dirugikan, Pengadilan Niaga dapat menerbitkan surat penetapan sementara untuk upaya perlindungan terhadap pemilik hak paten untuk mencegah kerugian yang lebih besar dalam hal ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak lain terhadap hak paten miliknya. Diatur dalam Pasal 125 Undang-Undang Tentang Paten.
Sebagaimana diketahui, hak paten merupakan sistem hukum yang masih sangat muda di Indonesia baik dari sisi regulasi maupun implementasinya. Sistem hak paten berkembang di negara – negara industri maju dan menjadi sistem yang bersifat global dan terharmonisasi.
Demikian halnya dengan penetapan sementara merupakan hal baru di Indonesia, sehingga perlu belajar dari praktik – praktik yang sudah matang teruji diberbagai negara maju. Pengadilan di negara – negara maju mengenal beberapa jenis putusan / penetapan seperti Anton Pillar Order, Mareeva Injuction dan Interlocutory. Anton Pillar Order : adalah putusan yang memberikan kewenangan kepada Penggugat untuk melakukan inspeksi ke tempat lokasi Tergugat dimana pelanggaran dilakukan / barang – barang hasil pelanggaran disimpan. Mareeva Injuction : adalah putusan yang memberikan kewenangan kepada Penggugat untuk meretensi aset – aset yang diperlukan untuk pemeriksaan perkara. Interlocutory : adalah putusan – putusan sela yang terkait dengan perintah Pengadilan kepada pihak yang berperkara untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan selama proses perkara HKI dipersengketakan masih berlangsung.
Undang – Undang Hak Paten merupakan ketentuan yang abstrak yang sesungguhnya merupakan “rencana sesuatu tata hukum yang dikehendaki”. Peraturan tersebut menjadi in concreto manakala diterapkan dalam suatu peristiwa hukum tertentu dalam putusan Hakim.
Putusan Hakim akan bergantung kepada pembuktian para pihak yang hukum acaranya diatur dalam hukum acara perdata ditambah beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam peraturannya.
Di dalam hukum acara perdata dianut prinsip “actori incumbit probatio” siapa yang mengaku mempunyai hak harus dibebani dengan beban pembuktian. Selain itu terdapat azas hukum : equal justice under law, suatu perlakuan yang sama terhadap para pihak, yang bermakna siapa yang lemah pembuktiannya harus dikalahkan.
Dalam rangka membuktikan dan mendukung dalil gugatannya para pihak dapat mengajukan alat – alat bukti seperti :
1. Surat – surat;
2. Saksi – saksi;
3. Persangkaan;
4. Pengakuan; dan
5. Sumpah; (periksa Pasal 164 HIR dan Pasal 284 Rbg.)
Membuktikan berarti memberikan kepastian secara yuridis, dengan sarana alat bukti, menetapkan secara pasti apa yang terjadi secara konkret dengan jalan mempertimbangkan atau memberikan alasan – alasan logis, sehingga sampai pada kesimpulan peristiwa – peristiwa tertentu dinyatakan benar atau dinyatakan tidak benar. Pada gilirannya para pihak dapat memperoleh gambaran yang jelas mengenai proses pengambilan keputusan dan alasan – alasan yang menjadi dasar pengambilan putusan tersebut. Putusan yang baik mengandung pertimbangan yang lengkap, akurat dan jelas.
Hukum acara khusus juga terkristal dalam kekhususan prosedur bagi penyelesaian sengketa dibidang hak paten di Pengadilan Niaga yaitu adanya tenggang waktu yang ketat:
1. Penyampaian gugatan kepada Ketua Pengadilan.
2. Mempelajari berkas gugatan dan menetapkan hari sidangnya.
3. Pemanggilan para pihak untuk bersidang.
4. Pemeriksaan di persidangan.
5. Putusan harus diucapkan paling lama dalam 90 hari setelah pendaftaran gugatan.
6. Penyampaian putusan kepada para pihak.
Putusan Pengadilan Niaga dalam sengketa hak paten terbuka upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung. Kekhususan ditingkat Kasasi sebagai berikut :
1. Tenggang waktu pengajuan Kasasi : paling lambat 14 hari.
2. Tenggang waktu penyampaian Memori Kasasi : paling lambat 7 hari sejak tanggal permohonan.
3. Pengiriman Memori Kasasi kepada pihak Termohon Kasasi : paling lambat 2 hari setelah diterima Memori Kasasi.
4. Pengajuan Kontra Memori Kasasi paling lambat 7 hari setelah penerimaan Memori Kasasi. Pengiriman Kontra Memori Kasasi kepada pihak lawan (Pemohon Kasasi) paling lambat 2 hari.
5. Pengiriman berkas perkara ke Mahkamah Agung paling lambat 14 hari setelah pengiriman Kontra Memori Kasasi tersebut di atas.
6. Mahkamah Agung wajib mempelajari berkas perkara Kasasi dan menetapkan hari sidang paling lambat 7 hari setelah permohonan Kasasi diterima oleh Mahkamah Agung.
7. Putusan Kasasi harus diucapkan paling lambat 90 hari setelah permohonan diterima oleh Mahkamah Agung.
8. Panitera Mahkamah Agung wajib menyampaikan kepada Panitera Pengadilan Niaga paling lambat 7 hari setelah putusan Kasasi diucapkan.
9. Juru sita Pengadilan Niaga menyampaikan salinan putusan Kasasi kepada Pemohon Kasasi dan Termohon Kasasi paling lambat 7 hari setelah putusan Kasasi diterima oleh Panitera Pengadilan Niaga.
Hak paten merupakan karya intelektual dari manusia. Yang mana karya intelektual adalah aset yang mengandung nilai ekonomis. Kepada pemiliknya diberikan hak monopoli / eksklusif untuk mengontrol penggunaan karya intelektual yang dilindungi. Pemegang Hak Kekayaan Intelektual akan memperoleh imbalan keuangan atas infestasinya dalam menghasilkan karya intelektual. Tuntutan ganti rugi Hak paten yang dalam Undang – Undang mengatur ganti rugi antara lain Pasal 118 UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten.
Perkara Paten Sederhana, Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No. 37/Paten/2003/PN. Niaga Jkt.Pst. tanggal 09 Oktober 2003 jo Putusan Mahkamah Agung RI No. 046 K/HaKi/2003 tanggal 09 Februari 2004, antara lain mempertimbangkan sebagai berikut :
“Walaupun produk Penggugat dan Tergugat terdapat perbedaan “tali air” akan tetapi perbedaan tersebut dapat dikualifisir sebagai melanggar paten dasar dan atau melanggar semua modifikasi yang tercakup dalam klaim paten No. 10. 0. 000.116. S tanggal 31 Mei 1996 milik Penggugat”.
1. Putusan Mahkamah Agung RI.
“Secara fungsi kedua genteng logam / metal tersebut adalah sama. Sehingga secara yuridis model genteng logam milik Tergugat hanya merupakan modifikasi yang masih didalam lingkup penemuan sebagaimana dimaksud dalam Surat Paten Sederhana milik Penggugat”.
2. Putusan Pembatalan Hak Paten
Putusan Mahkamah Agung RI No. 11 K/N/HaKi/2002 tanggal 30 September 2002 memutus sebagai berikut :
“Menghukum Tergugat Rekonpensi untuk menghentikan, membuat, menggunakan, menjual atau menyediakan untuk dijual barang – barang hasil pelanggaran Paten miliknya Penggugat Rekonpensi (Tergugat I Konpensi)”.
Putusan Mahkamah Agung (Peninjauan Kembali) No. 02 PK/N/ HaKi/2003 tanggal 13 Mei 2003.
“Sesuai dengan ketentuan Pasal 91 ayat (3) UU No.14 Tahun 2001, Subjek Hukum yang berhak mengajukan tuntutan pembatalan Paten agar Paten lain yang sama dengan Patennya dibatalkan oleh Hakim, adalah subjek hukum pemegang hak Paten, yang hak Patennya sudah terdaftar sah pada Direktorat Paten Departemen Kehakiman RI”.
“Oleh karena Penggugat Konpensi terbukti bukan pemegang hak Paten, maka tuntutannya harus ditolak oleh judex facti”.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah para penulis lakukan, maka para penulis menyimpulkan:
1. Hak paten merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya di bidang teknologi selama waktu tertentu. Seorang inventor dapat melaksanakan sendiri invensinya atau memberikan persetujuan kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Invensi merupakan ide dari inventor yang dituangkan ke dalam suatu kegiatan pemecahan masalah yang spesifik di bidang teknologi yang dapat berupa produk/proses atau penyempurnaan dan pengembangan dari produk/proses. Sedangkan inventor adalah orang baik secara sendiri maupun bersama dengan orang lain melaksanakan ide yang dituangkan ke dalam kegiatan yang menghasilkan invensi. Secara umum, ada tiga kategori besar mengenai subjek yang dapat dipatenkan: proses, mesin, dan barang yang diproduksi dan digunakan. Proses mencakup algoritma, metode bisnis, sebagian besar perangkat lunak (software), teknik medis, teknik olahraga dan semacamnya. Mesin mencakup alat dan aparatus. Barang yang diproduksi mencakup perangkat mekanik, perangkat elektronik dan komposisi materi seperti kimia, obat-obatan, DNA, RNA, dan sebagainya.
2. Menurut Undang-undang Pasal 24 Nomor 14 Tahun 2001 tentang Hak Paten, permohonan paten dapat diajukan dengan cara sebagai berikut :
(1) mengajukan permohonan secara tertulis dalam bahasa Indonesia kepada DJHKI dengan menggunakan formulir permohonan paten yang memuat :
a. tanggal, bulan, dan tahun permohonan ;
b. alamat lengkap dan kewarganegaraan inventor
c. nama lengkap dan alamat kuasa (apabila diajukan melalui kuasa)
d. pernyataan permohonan untuk diberi paten
e. judul invensi
f. klaim yang terkandung didalam invensi
g. deskripsi tentang invensi,
h. gambar yang disebutkan dalam deskripsi yang diperlukan untuk diperjelas invensi;
i. abstrak invensi;
(2) membayar biaya sesuai dengan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 50 tahun 2001 tentang perubahan kedua atas PP No.26 tahun 1999 tentang tarif atas jenis penerimaan Negara bukan pajak.
3. Penyelesaian sengketa hak paten melalui Pengadilan Niaga diatur dalam Pasal 117 Undang – Undang paten yang mana pihak yang berhak atau yang menjadi subjek paten (diatur dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12) dapat menggugat kepada pengadilan niaga jika suatu paten diberikan kepada pihak lain selain dari yang berhak.
B. Saran
Dari ulasan-ulasan yang telah dikemukakan dimuka, maka para penulis memberikan saran:
1. Undang – Undang dibidang paten mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan merupakan bentuk yuridis campur tangan negara dalam perlindungan hukum baik secara nasional maupun internasional. Jadi hakim sebagai organ Pengadilan dituntut untuk mewujudkan perlindungan hukum, keadilan dan kebenaran dalam penegakan hukum dibidang hak paten.
2. Pemerintah harus lebih melakukan pengawasan dan memperhatikan mengenai hak paten lebih serius lagi karena banyak terjadi penjiplakan terhadap karya intelektual orang lain yang telah dipatenkan dan sangat merugikan bagi pemilik hak paten.
jangan ada penyeselan lagi
Ini adalah kisah hidupku tentang masa remajaku. Aku bukanlah seorang aktris ataupun pemain drama. Tapi aku hanya gadis yang tak tahu arti cinta. Sekarang saat aku mulai mengetahui makna cinta tapi aku tak tahu apakah cinta itu masih ada untukku. Aku tetaplah aku apapun yang terjadi dalam hidupku karena ini adalan skenario hidupku. Aku akan mulai menceritakan tentang cintaku.
Dimulai dari aku kelas 2 SMU yang dimana para remaja merasakan manisnya cinta monyet (kata orang lho…) sedangkan aku sibuk dengan memperbaiki semua mata pelajaranku karena aku gagal masuk IPA. Mamaku kecewa tapi apa hendak dikata aku telah duduk di kelas IPS dan yang paling sialnya aku masuk kelas 2 IPS 4 (kelas kumpulannya anak-anak badung). Saat aku mulai masuk kelas 2 aku berjanji pada diriku bahwa aku harus menjadi yang terbaik. Aku tekun belajar dan Alhamdulillah aku mendapatkan nilai yang bisa dikatakan bagus.
Dikelas 2 tidak ada hal yang menarik kecuali pelajaran sampai-sampai saat aku mendapatkan nilai 65 pada mata pelajaran sosiologi di rapotku, aku protes kepada guru sosiologiku dan alhasil guruku marah dan aku harus minta maaf tapi semenjak itu guruku itu tidak lagi sembarangan dalam menberikan nilai padaku. Aku benar-benar larut dalam dunia pelajaran sampai-sampai aku hampir jadi kuper (kurang pergaulan) dengan teman-temanku. Tapi namanya juga remaja pasti pernah merasakan rasa suka dengan lawan jenis kita itupun aku rasakan kepada beberapa senior dan teman-teman sebayaku tapi hanya sebatas suka dan kagum saja.
Aku semakin dikenal oleh guru-guru semenjak aku naik kelas 3 karena prestasiku mendapatkan Rangking 1 dari kelasku yang di umumkan saat upacara bendera pada hari senin setelah liburan semester 1 dan aku mendapatkan piagam yang sampai sekarang aku simpan dengan baik di dalam kotak keberhasilanku. Lalu aku semakin giat untuk bersaing dan aku selalu berusaha untuk mengandalkan kemampuanku tanpa pernah melakukan tindakan-tindakan seperti mencontek, ngerepe, dkk. Karena saat aku kelas 2 aku berjanji tidak akan pernah melakukan tindakan-tindakan buruk itu lagi dan Alhamdulillah sampai sekarang aku masih memegang teguh prinsipku itu.
Entah sejak kapan percikan cinta itu hadir dalam hatiku, aku tak tahu pasti karena aku tidak ingin memikirkannya. Aku tipikal gadis yang sombong dan jaim banget dengan mahluk yang bernama laki-laki. Mungkin karena aku tidak ingin terlihat lemah dan membutuhkan mereka. Aku tidak pernah mau kalah dengan laki-laki manapun. Aku juga pernah berkelahi dengan beberapa teman laki-laki dikelasku karena sikapku yang sombong dan angkuh itu. Tapi aku merasa itu demi membela harga diri wanita tapi kadang caraku memang keras. Dan ada satu orang laki-laki yang membuat aku ingin menghajar apabila melihat wajahnya yang menyebalkan itu karena sifatnya yang seenaknya dan tidak peduli perasaan orang lain. Teman-temanku selalu bilang jangan membenci seseorang berlebihan karena dapat menimbulkan cinta dan ternyata itu tepat sekali.
Aku selalu bertengkar dengannya walaupun untuk hal-hal yang sepele. Dia tipikal orang yang sangat menyebalkan dan dapat dengan mudah membuat orang naik darah. Kalau dibilang aku dan dia sangat-sangat berbeda sekali. Aku hidup dengan caraku yang lurus sedangkan dia penuh dengan liku dan tantangan yang aku bilang dia buat sendiri. Aku yang dikenal dengan juara kelas sedangkan dia terkenal dengan anak badung. aku yang tumbuh dengan sederhana sedangkan dia yang hidup dengan kemewahan. Itulah awal cintaku yang sampai sekarang tak dapat aku lupakan karena dia sungguh berbeda dan itu juga yang menjadikan dinding pemisah antara aku dan dia.
Jujur aku tidak pernah mengetahui kehidupannya yang sebenarnya kecuali hal-hal yang berhubungan dengan karakter dan kebiasaannya bolos sekolah. Ada beberapa yang aku ketahui dari salah satu temannya bahwa dia tidak pernah mempermainkan wanita hanya saja dia pemabuk berat. Nah itu juga salah satu hal yang paling aku benci darinya. Dia itu bodoh tapi sok pinter, malah cenderung suka meremehkan orang lain walaupun aku juga suka meremehkan orang lain tapi aku tidak menyinggung dengan blak-blakan kecuali kepadanya.
Aku dan dia memiliki persamaan yaitu sangat suka debat dan yang membuat seru diskusi itu apabila aku dan dia berdebat dan ternyata teman-temanku merindukan aku dan dia berdebat lho. Awalnya aku sangat benci apabila dia ada saat aku persentasi tapi lama kelamaan malah aku jadi sepi kalau dia tidak ada. Dulu aku pernah bilang sama teman-temanku kalau hanya keajaiban yang bias buat aku jadi suka ma dia. Upz ternyata keajaiban itu benar-benar terjadi, aku kapok dech ngomong gitu lagi. Dia pernah memberiku coklat saat valentine dengan cara yang unik banget. Saat itu lagi pelajaran ekonomi dan aku sedang mengerjakan soal di papan tulis dan saat aku kembali ke mejaku ternyata ada duah buah coklat bentuk hati didalam laci mejaku. Akhirnya aku ngamuk ma temanku dan dia ngaku kalau dia cuma dirusuh sama si laki-laki itu dan saat istirahat aku kembalikan coklat itu ke laki-laki itu karena aku pikir dia cuma mau bikin aku GR doang. Dulu aku pernah bermimpi dia nembak aku dengan cara yang aneh bin ajaib tapi itu tetap hanya mimpi dan sampai saat ini.
Kata orang saat kita kehilangan seseorang itu maka baru kita dapat tahu seberapa berartinya orang itu buat kita dan itu benar sekali karena aku merasakan itu. Sebenarnya aku pernah ingin mengatakan rasa sukaku sama dia tapi ternyata takdir berkata berbeda. Setiap tahun aku selalu bertemu dengannya tapi aku tidak dapat mendekatinya karena terlalu banyak hal yang menjadi penghalang. Itulah takdir tak ada seorangpun yang dapat tahu maknanya. Saat itu aku berpikir dia hanya mimpi untukku dan tak mungkin jadi nyata (kayak lagu he…). Aku menyerah untuk meraihnya dan mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya dengannya.
Tapi ternyata 3 tahun tidak dapat merubah perasaanku padanya karena sampai aku membuat tulisan inipun aku masih memendam perasaan cinta ke dia tanpa aku tahu perasaannya ke aku. Sebenarnya perasaan ini muncul kembali dan menggangu lagi hari-hari tenangku karena beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan salah satu sahabatku saat SMA yang bernama livia dan dia bilang pernah bertemu dengan laki-laki itu saat dia nganterin adeknya yang sekolah di SMA kita dulu dan dia bilang tanpa sengaja laki-laki itu keceplosan ngomong bahwa dia punya perasaan ke aku. dan kata sahabat-sahabat SMA ku yang lain saat aku janjian ketemuan dengan mereka untuk membantuku mengklarifikasi apa yang terjadi sebenarnya ternyata mereka bilang dari dulu laki-laki itu memang suka sama aku. tapi aku masih nggak percaya karena aku pikir terlalu imposible kalau laki-laki itu menyukaiku karena aku bukan tandingan cewek-cewek yang pernah jadi pacarnya (pacarnya cantik-cantik lho). Bukannya aku nggak cantik tapi aku standard dan rada gemuk yang buat aku kurang PD (pacarnya dia itu rata-rata langsing booo…).
Akhirnya aku dan salah seorang temanku tadi siang pergi ke SMA ku dulu untuk jalan-jalan walaupun aku hanya ingin mencari ketenangan pikiran yang semakin kalut. Dan aku mencoba menulis dalam bentuk kisah yang aku rasa cukup bias membuat aku melampiaskan perasaanku. Aku bingung apa aku saja yang mengatakan perasaanku ke dia tapi itu tidak mungkin. Tapi bagaimana agar aku tahu perasaannya.
Apa cinta itu anugrah? Aku tak tahu. Mungkin cinta itu anugrah bagi yang saling mencinta. Tapi cinta itu dapat berubah jadi malapetaka bagi yang terluka. Well, semua rasa itu pasti ada maksud dan tujuannya diciptakan oleh karena itu aku nggak mau beranggapan yang dapat merusak pemikiranku terhadap cinta itu sendiri.
Aku mengalami syndrome males ngapa-ngapin jadi aku cuma menghabiskan waktuku lebih banyak untuk melamun (untung masih masa liburan kuliah). Aku sempat curhat sama mamaku dan kakakku dan mereka bilang kalau memang laki-laki itu suka sama aku pasti dia akan bilang ke aku. Tapi kata teman-temanku bilang kalau laki-laki itu kan sifatnya sama kayak aku egois dan gengsi tinggi banget jadi mustahil dia mau ngomong perasaannya ke aku. Semua itu mungkin terjadi tapi aku takut menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Aku tidak ingin berspekulasi dengan perasaanku ini yang dapat membuat aku berharap lalu sakit hati berkepanjangan. Aku memiliki satu puisi buatanku sendiri yang mana mengisahkan kisahku ini. Puisi yang aku buat untuk mewakili perasaanku yang terluka, sakit dan kecewa karena cinta.
LUKA ITU CINTA
Tak pernah kusesali rasa ini hadir didalam hatiku
Tak pernah kupungkiri apa yang kurasakan kepadanya
Hanya resah karena rasa ini semakin membuncah
Aku tidak dapat lagi membendung air mata ini
Air mata kepedihan hati seorang yang patah hati
Tersiksa dengan apa yang tidak ia ketahui
Tapi aku tak dapat berkata apapun
Jika aku boleh merubah semua ini
Aku ingin dicintai
Bukan mencintai
Karena mencintai itu sangat menyakitkan
Tak terperi rasanya di hati
Membuat orang menjadi tak karuan
Membuat hidup kadang berantakan
Dan membuat hati tak berani mengungkapkan
Anugrah…
Tapi malapetaka bagi yang terluka
Indah…
Tapi perih bagi yang kecewa
Bahagia…
Tapi menyedihkan bagi yang patah hatinya
Itulah cinta…
Tak dapat kita artikan dengan kata-kata
Tak dapat dipungkiri kehadirannya
Tak dapat dirasakan hanya dengan logika
Cinta itu datang dan pergi dengan sendirinya
Karena cinta adalah milik Sang Pencipta…
Sebenarnya aku sangat yakin jodoh udah ada yang mengatur tapi kalau kita nggak berusaha jodoh juga nggak akan datang kalau kita cuma berdoa doang karena selain doa kita juga harus berusaha. Aku mungkin terlalu terpengaruh dengan novel-novel dan sinetron tentang cinta yang selalu berakhir dengan happy ending padahal pada kenyataannya nggak semua begitu kok. Contohnya cinta ke laki-laki itu sampai sekarang aku nggak tahu apa yang akan terjadi. Kata temanku yang tadi nggak sengaja ketemu sama aku bilang hidup itu masih panjang jadi aka nada hal yang indah untuk kita (sok tahu banget kan). Aku tahu tentang semua itu karena hidupku jauh berliku dan banyak tanjakan jadi kata-kata seperti itu memang hanya motivasi untuk membangkitkan semangat yang sedang drop. Tapi aku nggak minta itu, aku hanya ingin tahu isi hatinya ke aku. biar hidup aku bias tenang. Aku gengsi kalau nanya langsung sama dia dan aku nggak mau dia GR (amit-amit dech).
Pernah dengar lagunya Tiket yang judulnya “Hanya Kamu Yang Bisa” seperti itulah cintaku. Aku mungkin nggak realistis tapi itu cinta. Sampai sekarang saja aku nggak tahu perasaannya ke aku seperti apa. Otakku bilang “berhenti berharap” tapi hatiku bilang “teruskanlah” jadi judul lagu dong. Aku pikir tidak ada salahnya aku mencoba toh pada dasarnya aku dan dia berbeda jadi aku putuskan untuk berhenti mengarapkan dia karena dia hanya mimpi buat aku.
Pasti kalian berpikir apakah ini keputusan yang bijak dan baik buatku, yang pasti ini adalah tindakan yang paling aku tak inginkan dari lubuk hatiku. Rasa sakit medera jiwaku tapi aku tak ingin menanggung malu. Awalnya aku bimbang tapi aku cerna kata-kata saat aku menelponnya kemarin aku semakin yakin dia tidak pernah mencintaiku ataupun menyukaiku. saat aku Tanya kenapa dia tidak membalas sms yang aku kirim ke dia 2 kali, kalian tau jawabannya apa, jawabannya hanya karena dia tidak ada pulsa. Aku pikir terlalu naïf kalau aku harus mempercayainya karena dia tipikal orang yang sibuk jadi mustahil kalau nggak punya pulsa. Dan akhirnya aku memutuskan untuk berspekulasi bahwa dia memang hanya ingin mempermainkan perasaanku saja saat SMA karena dia menganggap aku gadis bodoh yang gampang terpesona dan terjerat tipu muslihat cintanya. Soal temanku mungkin saja temanku itu bohong dan mengada-ada saja biar bikin sensasi dan mempermalukanku.
Dulu saat SMA, karena dia masa-masa SMA ku berwarna. Begitu banyak yang terjadi saat aku bersamanya ada kelucuan, keanehan, dan keunikan tersendiri. Itulah kisah cintaku yang sampai detik ini aku tak tahu jawabnya dan aku tak ingin menyesal lagi biarlah ini menjadi akhir dari penyesalanku dari misteri hidup yang akan semua manusia alami dengan caranya masing-masing.
Dimulai dari aku kelas 2 SMU yang dimana para remaja merasakan manisnya cinta monyet (kata orang lho…) sedangkan aku sibuk dengan memperbaiki semua mata pelajaranku karena aku gagal masuk IPA. Mamaku kecewa tapi apa hendak dikata aku telah duduk di kelas IPS dan yang paling sialnya aku masuk kelas 2 IPS 4 (kelas kumpulannya anak-anak badung). Saat aku mulai masuk kelas 2 aku berjanji pada diriku bahwa aku harus menjadi yang terbaik. Aku tekun belajar dan Alhamdulillah aku mendapatkan nilai yang bisa dikatakan bagus.
Dikelas 2 tidak ada hal yang menarik kecuali pelajaran sampai-sampai saat aku mendapatkan nilai 65 pada mata pelajaran sosiologi di rapotku, aku protes kepada guru sosiologiku dan alhasil guruku marah dan aku harus minta maaf tapi semenjak itu guruku itu tidak lagi sembarangan dalam menberikan nilai padaku. Aku benar-benar larut dalam dunia pelajaran sampai-sampai aku hampir jadi kuper (kurang pergaulan) dengan teman-temanku. Tapi namanya juga remaja pasti pernah merasakan rasa suka dengan lawan jenis kita itupun aku rasakan kepada beberapa senior dan teman-teman sebayaku tapi hanya sebatas suka dan kagum saja.
Aku semakin dikenal oleh guru-guru semenjak aku naik kelas 3 karena prestasiku mendapatkan Rangking 1 dari kelasku yang di umumkan saat upacara bendera pada hari senin setelah liburan semester 1 dan aku mendapatkan piagam yang sampai sekarang aku simpan dengan baik di dalam kotak keberhasilanku. Lalu aku semakin giat untuk bersaing dan aku selalu berusaha untuk mengandalkan kemampuanku tanpa pernah melakukan tindakan-tindakan seperti mencontek, ngerepe, dkk. Karena saat aku kelas 2 aku berjanji tidak akan pernah melakukan tindakan-tindakan buruk itu lagi dan Alhamdulillah sampai sekarang aku masih memegang teguh prinsipku itu.
Entah sejak kapan percikan cinta itu hadir dalam hatiku, aku tak tahu pasti karena aku tidak ingin memikirkannya. Aku tipikal gadis yang sombong dan jaim banget dengan mahluk yang bernama laki-laki. Mungkin karena aku tidak ingin terlihat lemah dan membutuhkan mereka. Aku tidak pernah mau kalah dengan laki-laki manapun. Aku juga pernah berkelahi dengan beberapa teman laki-laki dikelasku karena sikapku yang sombong dan angkuh itu. Tapi aku merasa itu demi membela harga diri wanita tapi kadang caraku memang keras. Dan ada satu orang laki-laki yang membuat aku ingin menghajar apabila melihat wajahnya yang menyebalkan itu karena sifatnya yang seenaknya dan tidak peduli perasaan orang lain. Teman-temanku selalu bilang jangan membenci seseorang berlebihan karena dapat menimbulkan cinta dan ternyata itu tepat sekali.
Aku selalu bertengkar dengannya walaupun untuk hal-hal yang sepele. Dia tipikal orang yang sangat menyebalkan dan dapat dengan mudah membuat orang naik darah. Kalau dibilang aku dan dia sangat-sangat berbeda sekali. Aku hidup dengan caraku yang lurus sedangkan dia penuh dengan liku dan tantangan yang aku bilang dia buat sendiri. Aku yang dikenal dengan juara kelas sedangkan dia terkenal dengan anak badung. aku yang tumbuh dengan sederhana sedangkan dia yang hidup dengan kemewahan. Itulah awal cintaku yang sampai sekarang tak dapat aku lupakan karena dia sungguh berbeda dan itu juga yang menjadikan dinding pemisah antara aku dan dia.
Jujur aku tidak pernah mengetahui kehidupannya yang sebenarnya kecuali hal-hal yang berhubungan dengan karakter dan kebiasaannya bolos sekolah. Ada beberapa yang aku ketahui dari salah satu temannya bahwa dia tidak pernah mempermainkan wanita hanya saja dia pemabuk berat. Nah itu juga salah satu hal yang paling aku benci darinya. Dia itu bodoh tapi sok pinter, malah cenderung suka meremehkan orang lain walaupun aku juga suka meremehkan orang lain tapi aku tidak menyinggung dengan blak-blakan kecuali kepadanya.
Aku dan dia memiliki persamaan yaitu sangat suka debat dan yang membuat seru diskusi itu apabila aku dan dia berdebat dan ternyata teman-temanku merindukan aku dan dia berdebat lho. Awalnya aku sangat benci apabila dia ada saat aku persentasi tapi lama kelamaan malah aku jadi sepi kalau dia tidak ada. Dulu aku pernah bilang sama teman-temanku kalau hanya keajaiban yang bias buat aku jadi suka ma dia. Upz ternyata keajaiban itu benar-benar terjadi, aku kapok dech ngomong gitu lagi. Dia pernah memberiku coklat saat valentine dengan cara yang unik banget. Saat itu lagi pelajaran ekonomi dan aku sedang mengerjakan soal di papan tulis dan saat aku kembali ke mejaku ternyata ada duah buah coklat bentuk hati didalam laci mejaku. Akhirnya aku ngamuk ma temanku dan dia ngaku kalau dia cuma dirusuh sama si laki-laki itu dan saat istirahat aku kembalikan coklat itu ke laki-laki itu karena aku pikir dia cuma mau bikin aku GR doang. Dulu aku pernah bermimpi dia nembak aku dengan cara yang aneh bin ajaib tapi itu tetap hanya mimpi dan sampai saat ini.
Kata orang saat kita kehilangan seseorang itu maka baru kita dapat tahu seberapa berartinya orang itu buat kita dan itu benar sekali karena aku merasakan itu. Sebenarnya aku pernah ingin mengatakan rasa sukaku sama dia tapi ternyata takdir berkata berbeda. Setiap tahun aku selalu bertemu dengannya tapi aku tidak dapat mendekatinya karena terlalu banyak hal yang menjadi penghalang. Itulah takdir tak ada seorangpun yang dapat tahu maknanya. Saat itu aku berpikir dia hanya mimpi untukku dan tak mungkin jadi nyata (kayak lagu he…). Aku menyerah untuk meraihnya dan mengungkapkan perasaanku yang sesungguhnya dengannya.
Tapi ternyata 3 tahun tidak dapat merubah perasaanku padanya karena sampai aku membuat tulisan inipun aku masih memendam perasaan cinta ke dia tanpa aku tahu perasaannya ke aku. Sebenarnya perasaan ini muncul kembali dan menggangu lagi hari-hari tenangku karena beberapa hari yang lalu aku bertemu dengan salah satu sahabatku saat SMA yang bernama livia dan dia bilang pernah bertemu dengan laki-laki itu saat dia nganterin adeknya yang sekolah di SMA kita dulu dan dia bilang tanpa sengaja laki-laki itu keceplosan ngomong bahwa dia punya perasaan ke aku. dan kata sahabat-sahabat SMA ku yang lain saat aku janjian ketemuan dengan mereka untuk membantuku mengklarifikasi apa yang terjadi sebenarnya ternyata mereka bilang dari dulu laki-laki itu memang suka sama aku. tapi aku masih nggak percaya karena aku pikir terlalu imposible kalau laki-laki itu menyukaiku karena aku bukan tandingan cewek-cewek yang pernah jadi pacarnya (pacarnya cantik-cantik lho). Bukannya aku nggak cantik tapi aku standard dan rada gemuk yang buat aku kurang PD (pacarnya dia itu rata-rata langsing booo…).
Akhirnya aku dan salah seorang temanku tadi siang pergi ke SMA ku dulu untuk jalan-jalan walaupun aku hanya ingin mencari ketenangan pikiran yang semakin kalut. Dan aku mencoba menulis dalam bentuk kisah yang aku rasa cukup bias membuat aku melampiaskan perasaanku. Aku bingung apa aku saja yang mengatakan perasaanku ke dia tapi itu tidak mungkin. Tapi bagaimana agar aku tahu perasaannya.
Apa cinta itu anugrah? Aku tak tahu. Mungkin cinta itu anugrah bagi yang saling mencinta. Tapi cinta itu dapat berubah jadi malapetaka bagi yang terluka. Well, semua rasa itu pasti ada maksud dan tujuannya diciptakan oleh karena itu aku nggak mau beranggapan yang dapat merusak pemikiranku terhadap cinta itu sendiri.
Aku mengalami syndrome males ngapa-ngapin jadi aku cuma menghabiskan waktuku lebih banyak untuk melamun (untung masih masa liburan kuliah). Aku sempat curhat sama mamaku dan kakakku dan mereka bilang kalau memang laki-laki itu suka sama aku pasti dia akan bilang ke aku. Tapi kata teman-temanku bilang kalau laki-laki itu kan sifatnya sama kayak aku egois dan gengsi tinggi banget jadi mustahil dia mau ngomong perasaannya ke aku. Semua itu mungkin terjadi tapi aku takut menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Aku tidak ingin berspekulasi dengan perasaanku ini yang dapat membuat aku berharap lalu sakit hati berkepanjangan. Aku memiliki satu puisi buatanku sendiri yang mana mengisahkan kisahku ini. Puisi yang aku buat untuk mewakili perasaanku yang terluka, sakit dan kecewa karena cinta.
LUKA ITU CINTA
Tak pernah kusesali rasa ini hadir didalam hatiku
Tak pernah kupungkiri apa yang kurasakan kepadanya
Hanya resah karena rasa ini semakin membuncah
Aku tidak dapat lagi membendung air mata ini
Air mata kepedihan hati seorang yang patah hati
Tersiksa dengan apa yang tidak ia ketahui
Tapi aku tak dapat berkata apapun
Jika aku boleh merubah semua ini
Aku ingin dicintai
Bukan mencintai
Karena mencintai itu sangat menyakitkan
Tak terperi rasanya di hati
Membuat orang menjadi tak karuan
Membuat hidup kadang berantakan
Dan membuat hati tak berani mengungkapkan
Anugrah…
Tapi malapetaka bagi yang terluka
Indah…
Tapi perih bagi yang kecewa
Bahagia…
Tapi menyedihkan bagi yang patah hatinya
Itulah cinta…
Tak dapat kita artikan dengan kata-kata
Tak dapat dipungkiri kehadirannya
Tak dapat dirasakan hanya dengan logika
Cinta itu datang dan pergi dengan sendirinya
Karena cinta adalah milik Sang Pencipta…
Sebenarnya aku sangat yakin jodoh udah ada yang mengatur tapi kalau kita nggak berusaha jodoh juga nggak akan datang kalau kita cuma berdoa doang karena selain doa kita juga harus berusaha. Aku mungkin terlalu terpengaruh dengan novel-novel dan sinetron tentang cinta yang selalu berakhir dengan happy ending padahal pada kenyataannya nggak semua begitu kok. Contohnya cinta ke laki-laki itu sampai sekarang aku nggak tahu apa yang akan terjadi. Kata temanku yang tadi nggak sengaja ketemu sama aku bilang hidup itu masih panjang jadi aka nada hal yang indah untuk kita (sok tahu banget kan). Aku tahu tentang semua itu karena hidupku jauh berliku dan banyak tanjakan jadi kata-kata seperti itu memang hanya motivasi untuk membangkitkan semangat yang sedang drop. Tapi aku nggak minta itu, aku hanya ingin tahu isi hatinya ke aku. biar hidup aku bias tenang. Aku gengsi kalau nanya langsung sama dia dan aku nggak mau dia GR (amit-amit dech).
Pernah dengar lagunya Tiket yang judulnya “Hanya Kamu Yang Bisa” seperti itulah cintaku. Aku mungkin nggak realistis tapi itu cinta. Sampai sekarang saja aku nggak tahu perasaannya ke aku seperti apa. Otakku bilang “berhenti berharap” tapi hatiku bilang “teruskanlah” jadi judul lagu dong. Aku pikir tidak ada salahnya aku mencoba toh pada dasarnya aku dan dia berbeda jadi aku putuskan untuk berhenti mengarapkan dia karena dia hanya mimpi buat aku.
Pasti kalian berpikir apakah ini keputusan yang bijak dan baik buatku, yang pasti ini adalah tindakan yang paling aku tak inginkan dari lubuk hatiku. Rasa sakit medera jiwaku tapi aku tak ingin menanggung malu. Awalnya aku bimbang tapi aku cerna kata-kata saat aku menelponnya kemarin aku semakin yakin dia tidak pernah mencintaiku ataupun menyukaiku. saat aku Tanya kenapa dia tidak membalas sms yang aku kirim ke dia 2 kali, kalian tau jawabannya apa, jawabannya hanya karena dia tidak ada pulsa. Aku pikir terlalu naïf kalau aku harus mempercayainya karena dia tipikal orang yang sibuk jadi mustahil kalau nggak punya pulsa. Dan akhirnya aku memutuskan untuk berspekulasi bahwa dia memang hanya ingin mempermainkan perasaanku saja saat SMA karena dia menganggap aku gadis bodoh yang gampang terpesona dan terjerat tipu muslihat cintanya. Soal temanku mungkin saja temanku itu bohong dan mengada-ada saja biar bikin sensasi dan mempermalukanku.
Dulu saat SMA, karena dia masa-masa SMA ku berwarna. Begitu banyak yang terjadi saat aku bersamanya ada kelucuan, keanehan, dan keunikan tersendiri. Itulah kisah cintaku yang sampai detik ini aku tak tahu jawabnya dan aku tak ingin menyesal lagi biarlah ini menjadi akhir dari penyesalanku dari misteri hidup yang akan semua manusia alami dengan caranya masing-masing.
Langganan:
Postingan (Atom)